Dari dulu, bahkan dari zamannya pake seragam putih-biru, aku berfikir apa hikmahnya pacaran. Yg aku liat dari temen-temen ku, cerita yg ku baca, pengamatan ku, kegiatan itu ga ada manfaatnya--Mungkin fikiran sarkas itu muncul karena secara aku emang ga pernah ngerasain pacaran, bahkan sampai sekarang-- yg ada malah hilang fokus belajar, hilang temen (karena terlalu fokus sama doi), bohong sama ortu, belum lagi yg harus selalu standby hp buat selalu hubungin doi, dan lagi kalo pacarannya 'terlalu jauh' jatuhnya malah merusak dirikan?. Buatku itu terlalu berat buat ukuran hubungan yg kemungkinan cuman main-main saja, yg kemungkinan bertahan sampe jenjang pernikahannya sangat tipis. Rasanya amat sangat tidak setimpal, kehilangan banyak hal krusial untuk hal yg akan berakhir sia-sia belaka hanya demi euforia sesaat.Beranjak pada masa putih abu-abu, aku baru mulai tahu bahwa pacaran itu dilarang dalam agama islam. Semakin kuatlah keyakinan ku. Tapi taukan gejolak-gejolak masa muda yg terlalu membara itu sulit untuk ditahan. Tapi beruntunglah aku yg sekolah ditempat yg tak terlalu byk orangnya, jadi ga ada tuh aku cinlok-cinlokan di sekolah. Mungkin karena aku emang ga semenarik itu buat di deketin, i know it, and i don't care. Aku lebih milih nyalurin hasrat romansa ku pada bait-bait kata-kata yg terangkai indah dalam sebuah buku.
Meski aku ga akan menampik bahwa akupun pernah beberapa ngobrol-ngobrol dgn lawan jenis di sosmed, tapi Hanya sebatas itu tak pernah lebih. Mungkin karena aku terlalu ngebosenin buat diajak ngobrol panjang lebar, sampe semuanya tak pernah berlanjut lebih jauh. Dan lagi aku terlalu takut buat diajak ketemuan sama orang asing yg hanya kenal dari sosmed. Jujur aku terlalu over thinking tentang hal itu, bahkan sampe sekarangpun masih, meskipun jadi bergeser esensi dari tadinya 'over thinking' jadi 'alasan agama melarang' jadi aku ga pernah lakuin. Karena jujur aku takut kalo mau ngelanggar batasan yg udah aku pegang sedari lama rasanya ga enak. Dan entah kenapa setiap kali mau ngelanggar, alam semesta seolah tak pernah mengizinkan. At the end, its never happen.
Ada momen dimana aku pernah hampir terjerumus. Aku mengiakan ajakan seseorang untuk pacaran. Meski aku nerima dia bukan karena ada rasa tapi karena alesan egois gue yg ga ada sangkut pautnya sama dia. Parahnya lagi aku putusin dia sehari setelah jadian, hanya karena aku belum siap sama inrelationship dan segala tuntutannya, karena mungkin dalam hati aku udah tertanam prinsip bahwa aku emang ga cocok dgn konsep pacaran. Dan yg lebih parah aku putusin dia dgn penjelasan yg ambigu dan memilih menghilang dari peredaran, meski tanpa aku block dia, hanya berhenti menggubrisnya. Sadis memang aku, i know, dan karmanya mungkin gue jadi belum bisa menerima seseorang lagi.
Tahunpun berganti dan aku masih sendiri berteman sepi. Aku ga mau pacaran karena aku ga mau semua romantisme habis saat pacaran dan menjadi basi ketika menikah. Sungguh aku tidak mau mengalami itu. Meski akupun sebenarnya mau menjalani relationship apapun itu namanya, tapi akupun ga mau jadi salah satu oknum yg menyalahgunakan kata ta'aruf demi nafsu ku semata. Entah bagaimana hubungan yg aku mau sebenarnya, karena akupun bingung dgn idealisme ku sendiri.
Tahunpun berjalan. Aku mulai sadar ada yg salah denganku. Mengapa aku seakan tak bisa membuka hati. Berhari-hari aku memikirkannya, menghabiskan waktu dengan merenung. Ada dua nama yg aku simpan dalam hatiku, tidak dalam hati tapi menghalagi pintu masuk. Nama yg kasihnya tak sampai dan tak pernah akan bisa berkisah. Dan satu nama yg karenaku dia pernah menderita. Setidaknya meski aku tak seberharga itu untuknya, tapi aku pasti telah melukai ego dan harga dirinya.
Beberapa lama aku berusaha memaapkan segalanya. Mulai dari diriku sendiri yg udah ngelakuin kesalahan. Sampe minta maap sama diapun aku lakukan. Tapi semua tak semudah itu, saat kejadian itu sudah terlewat lama, banyak hal yg berubah, dia dan statusnya misal. Aku ga bisa muncul gitu aja dgn permintaan maap dan penjelasan panjang lebar disaat dia udah punya keluarga sendiri. Tapi aku udah ga tahan memdem rasa bersalah itu terlalu lama. Jadilah aku minta maap dgn kalimat 'maapkan aku, dan selamat tinggal'. Hanya sedikit melegakan, karena aku tak bisa mengungkapkan apa yg mestinya aku ungkap untuk menyelesaikan kisah yg lalu dan menutup buku. Kata-kata pendek dan ambigu itu malah menimbulkan masalah baru. Aku tiba-tiba di add istrinya lalu dichat, ini maksudnya apa disertai ss inbox dariku. Shock dong aku, perasaan langsung ga karuan berasa di tuduh mau jadi pelakor. Dari situ gue jelasin sehalus mungkin sama istrinya gue ga pernah bermaksud apa-apa gue cuman minta maap itu aja. Jadilah aku ga pernah hubungin dia lagi, bahkan ketika dia bales chat aku nanyain maksud aku apa, tiba-tiba chat langsung minta maap, aku ga pernah bales takut menimbulkan masalah lagi. Cukup sekali aku disangka pelakor, ga mau lagi.
Seiring bertambah kedewasaan akupun mulai mau memahami pacaran yg dilarang agama itu seperti apa dan kenapa dan mulai menerimanya. Meski aku tahu itu, bahkan sudah dari lama tapi aku menerimanya jujur, bukan karena iman tapi hanya karena merasa didukung aja. Merasa itu satu-satunya pelipur lara dgn berlindung dibalik agama, saat orang lain asyik menikmati romansa. Aku seolah berkoar-koar itu dosa padahal dibalik itu ada hati yg diam-diam memendam iri. Tapi sekarang aku mulai mau memahami bahwa pacaran memang dilarang. Dan tuhanpun sudah mengatur dengan amat jelas batasan-batasan apa saja yg tidak boleh dilanggar oleh dua orang lawan jenis. Seperti dilarang berdua-duaan, dilarang berkomunikasi berlebihan tanpa maksud yg jelas, dilarang bersentuhan dan banyak lagi.
Akupun menuliskan ini bukan karena aku merasa benar, tidak sama sekali. Aku hanya ingin membagikan pemikiran ku saja. Bicara benar dan salah, aku tak sepenuhnya benar dan kaupun tak sepenuhnya salah. Karena ada sisi salahku yg aku sembunyikan, dan ada pula sisi benarmu yang aku tidak tahui.
Wassalam
Nur Fitriani
25022020
KAMU SEDANG MEMBACA
My Opinion's
No Ficciónpemahamanku dalam menanggapi hal-hal random yg terjadi di masyarakat. Apa-apa yg aku rasakan terhadap sekitar.