Waktu itu. Sejak awal 'bertemu', sejak kejadian itu. Sudah sangat lama pemuda ini ingin sekali bertamu tuk memungut madu. Menyudahi pencarian, dan menjemput penantian.
Waktu terus berlalu. Asa itu tumbuh semakin tak menentu. Dan tak terasa, satu tahun telah menemaninya dalam halu. Bersama desas-desus yang semakin tak bermutu.
Dan sekarang.
Mentalnya telah penuh terisi. Maka di sebuah malam yang sepi, tiba-tiba saja seorang diri pemuda itu telah berdiri kaku didepan daun gawang pintu, sebelum akhirnya ia memaksa telunjuk tangannya tuk 'mengetuk rumah'. Sekali pintu diketuk beriring salam, dan begitu cepat salam langsung tersambut pelan. Pintu terbuka, ramah berjabat tangan erat, dipersilahkan masuk. Ia masuk, lalu duduk.
Setelah sekian lama ia menyimpan rahasia, dan selama itu juga ia memupuk mental untuk mendatangi rumahnya. Sekarang ia betul 'harus' mendatangi rumah itu. Rumah yang telah lama ingin sekali ia tuju. Sekarang ia benar-benar telah melewati daun gawang pintu.
Apakah tujuannya bertamu masih sama seperti dahulu ?
Di rumah itu, untuk pertama kalinya ia duduk sebagai seorang tamu.
Mulai bercengkrama basa-basi tentang ini dan itu, malu-malu menyantap hidangan yang disuguhkan. Hingga dengan sopan si pemuda mulai merangkai kata menjelaskan tentang niatnya yang berkaitan dengan rasa, meluruskan desas-desus tetangga, dan sedikit memperbaiki nama. Kepada Ayah Ibunya ia mengutarakan semua.
Tentang, bagaimana ia bertemu, bagaimana bisa saling menunggu, dan bagaimana antara mereka sempat ada doa untuk menjadi satu. Semua tentang masa lalu yang terlalu lama membisu, malam itu ia jelaskan tanpa ragu meski harus menahan rasa malu.
Bahagianya, saat Ayah Ibunya mengangguk ramah setuju. Setuju dengan semua yang ia utarakan. Setuju dengan segala niat yang telah ia jelaskan. "alhamdulillah, sekarang sudah jelas" kata ayahnya ramah dengan anggukan setuju ibundanya.
Setelah itu, hari ini, di tahun yang berbeda, bersama niat dan tujuan yang tak lagi sama.
Kesabaran pemuda itu membuahkan hasil. Sebentar lagi, mencari pasti diantara mereka akan segera berakhir.
Dan detik ini, tepat dimana pemuda itu berpamitan pulang tanpa terusir, dan tulisan ini mulai terukir. Drama antara meraka telah berakhir.
Benar-benar selesai. Cerita mereka telah usai. Sebab, sejak dari awal ia 'bertamu' memang bukan untuk memulai cerita, melainkan mengakhiri cerita. Memadamkan gejolak api antara meraka. Menyudahi drama. Membungkam katanya dan katanya.
Ia datang untuk 'menghilang', bukan tentang 'tualang'. Ia 'mengetuk rumah' untuk menjelaskan sudah, bukan perihal pesta yang meriah. Ia datang untuk mengakhiri cerita memadamkan api asmara, bukan untuk merajut rasa dibawah atap yang sama.
Ia sadar telah memulai 'cerita' d engan cara yang salah. Maka ia datang sebagai tanggung jawab tuk menjelaskan sudah menginginkan patah.
Ia kembali untuk berpamitan pergi, bukan untuk menjemput pujaan hati, apalagi hanya untuk secangkir kopi.
Dan saat ia telah keluar rumah melangkahkan kaki, saat itu juga perasaan untuknya telah lama dipaksa berhenti, menjadi mati.
Pergi, mati, lalu berhenti. Kembali tertatih seorang diri, berlatih memperbaiki hati.
Tentang 'kamu' tertulis Desember 2018 dalam imajinasi. Dan februari 2020 seperti benar-benar ada kisah yang sedang terjadi.
YOU ARE READING
Kembali Untuk Pergi
Não FicçãoPeluapan emosi dari seorang pemuda yang menyengaja untuk patah hati, kata berirama tentang cerita cinta penuh luka, dan kedewasaan tentang keberaniannya bercerita tentang fakta meski harus mengorek luka lama. Menyengaja patah lillah, kembali terseka...