Half alive (Luka)

20 2 1
                                    

     ___________'°'•'°'•'°'•'°'•'°____________

Handria Novandra Putri, gadis cantik berkulit kuning langsat keturunan jawa-sumatra yang cukup populer di kalangan mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa Asing. Bukan hanya karna parasnya, namun juga prestasinya yang cukup gemilang, meski tak segemilang kisah cintanya. Gadis yang biasa disapa Ria itu nampak duduk termangu sembari menompang dagu dengan tangan kanan. Tatapannya menerawang jauh, sosoknya tampak teguh namun juga rapuh disaat yang bersaman.

"Sudah lama ?" seorang gadis ras negroid bertubuh jangkung menggeser kursi tepat didepan Ria.

Namun tak cukup mengalihkan atensi gadis itu untuk menoleh kearahnya.

"Masih memikirkannya ?" tanya gadis berkulit eksotis dengan surai sepunggung yang diikat pony tail tersebut.

Hening.

Bahkan Ria tak bergeming dari lamunannya. Helaan napas berat berhembus keluar diiringi dengan desahan pelan. Panggilan yang cukup nyaring mengalihkan atensinya pada sosok yang tengah berlari kecil dengan senyum ceria yang terlalu lebar untuk wajah kecilnya.

"IVANAA."

"Suhwa, turunkan nada suaramu." decak gadis yang kini kita ketahui bernama Ivana.

"Maaf, hariku terlalu indah dan membuatku bersemangat." Sahut Suhwa dan segera mengambil tempat duduk disebelah Ivana.

"Hei, Ria. Masih tidak banyak bicara ya. Semua ini pasti karna laki-laki brengsek itu." gerutu gadis yang berasal dari negeri ginseng tersebut.

"Suhwa!" tegur Ivana.

"Memang benar kan ? Bagaimana bisa kau memiliki orang-orang brengsek itu sebagai orang terdekatmu. Dasar tidak tahu diri, membuatku jijik saja." sambung Suhwa berapi-api dan tampak tidak puas. Ivana melirik Ria dengan cemas.

Gadis itu masih tak bergerak. Bahkan tatapan yang tampak sayu berubah menjadi hampa.

"Sudahlah hentikan. Lagipula apa yang membuatmu terlihat seperti telah memiliki dunia dan seluruh isinya ?" Ivana mencoba mengalihkan pembicaraan. Seketika wajah yang cemberut berubah cerah kembali.

"Darren meminta maaf dan memohon untuk kembali padaku." senyum sumringah tak lepas dari paras cantiknya. Ivana memandang Suhwa dengan kesal.

"Apa kau bodoh ? Bagaimana bisa kau menerimanya setelah apa yang dia lakukan padamu. Lebam di lengan dan punggungmu bahkan belum memudar. Demi Tuhan, keledai saja tidak akan jatuh dua kali kelubang yang sama." suara Ivana terdengar meninggi karna tak mampu membendung kemarahannya.

"Memangnya kenapa ? Kau sendiri melindungi kekasihmu yang seorang bandar narkoba kan. Tidak usah menceramahiku tentang dengan siapa aku harus bersama." Suhwa nampak geram dam berdiri dari kursinya. Napas kedua gadis itu saling memburu, tatapan tajam tak terelakkan.

Ria menatap kosong kearah dua sahabatnya yang tengah bertikai. Membuat Suhwa kembali duduk dan Ivana yang membuang muka kesamping. Memandang kerumunan orang yang lalu lalang dari balik kaca Kaffe yang transparan.

"Kami menjadi orang dungu dan buta karna cinta, tapi aku berharap kau bisa lebih baik dari ini." suara Ivana terasa lembut dipendengaran.

"Kami mengkhawatirkanmu. Setidaknya katakan pada Danu bahwa kau membencinya dan katakan pula pada adikmu bahwa kau tidak akan datang keacara pernikahan mereka." kali ini Suhwa berbicara dengan nada tegas.

"Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri, Ria. Sudah cukup mereka datang meminta restu karna telah berkhianat dibelakangmu. Bahkan Nia tengah hamil anak Danu. Jangan menguji hatimu sendiri." Suhwa tampak lebih dewasa dari biasanya.

"Kami akan selalu mendukungmu. Namun membiarkanmu sakit bukanlah pilihan." Ivana tersenyum menenangkan, mencoba memberi kekuatan pada sahabatnya.

Helaan napas kasar terdengar dari Ria yang sejak tadi bahkan tak bersuara. Seorang pramusaji datang dan mengantarkan pesanan gadis itu. Secangkir espresso tampak sesuai dengan kisah hidupnya yang terasa pahit.

"Sendiri lagi, nona ? Kemana dua gadis lain yang biasa datang bersama anda ? Sudah hampir satu bulan lebih mereka tak terlihat." suara tenang pria berusia pertengahan dua puluhan itu membuat Ria kembali menatap sendu kursi kosong didepannya.

Mengenang kembali bagaimana ributnya dua orang yang sangat kontras namun saling memahami dan menyayangi satu sama lain itu. Rasanya baru kemarin mereka saling beradu mulut dan mengomentari kisah hidupnya, namun siapa sangka mereka berdua telah menghadap Tuhan lebih dulu darinya.

Satu setengah bulan yang lalu Ria mendapat kabar bahwa Suhwa, ditemukan tewas di apartemennya degan luka tusuk di perut dan leher. Bahkan ditemukan banyak sekali lebam biru yang disebabkan benda tumpul disekujur tubuh gadis asal Korea tersebut.

Belum kering luka hatinya, empat hari setelah itu Ivana harus menghembuskan napas terakhirnya saat peluru petugas kepolisian menembus paru-paru dan lengan kanannya karna melindungi pemuda brengsek yang menyandang status sebagai kekasih gadis itu. Sungguh tidak ada hal yang lebih menyakitkan saat mengetahui bahwa tidak ada lagi tempatmu untuk tinggal dan kembali, tempatmu untuk bersandar dan berpijak meski hanya sekedar untuk melepas lelah. Tidak ada lagi tempat yang bisa di sebut 'rumah' selepas kepergian keduanya.

"Mereka tidak akan pernah datang, selamanya." ucapan lirih dari Ria membuat pria itu mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut. 

"Selamat menikmati hidangannya, semoga harimu menyenangkan." pramusaji itu undur diri, meninggalkan Ria kembali dengan lamunannya.

Melirik selembar surat yang tergeletak diatas meja. Sebuah surat pemberitahuan beasiswa ke London, dan tiket pesawat yang menunjukan waktu keberangkatan 12 jam kedepan.

"Aku memang bodoh, hampir saja ku buang kesempatan ini hanya karna ingin hidup untuk mengasihani diriku sendiri. Terima kasih karna kalian selalu ada untukku." senyum tipis tersulam dibibir mungil yang tampak pucat.

Dikhianati oleh orang terdekat dan kehilangan dua orang sahabat dalam waktu bersamaan memang terasa berat, namun satu hal yang pasti, Ria akan melewati itu dan membuka lembaran baru. Berdua, cukup hanya dia dan kehidupan kecil yang tengah tumbuh di rahimnya.

         ___________'°'•'°'•'°'•'°'•'°____________

Banjarbaru
January 20th, 2020
10.34 pm

Momento, Memories and ScenesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang