Desahan panjang Jinhwan lakukan ketika keluar dari kampus, setelah menyelesaikan serangkaian urusan menjelang acara besar yang akan diadakan kampusnya minggu depan. Belum lagi emosinya hari ini sungguh diuji karena anak dari jurusan musik berkukuh takkan tampil kalau keinginan mereka tak dipenuhi secara maksimal.
Ia duduk di subway dengan lemas. Begitu larut dalam lamunan, wajah Suhyun tiba-tiba melintas di pikirannya. Jinhwan penasaran bagaimana jadinya Suhyun dengan orang yang dia suka.
Tapi belum saja masuk dalam tahap pembayangan, ia keburu mendecak. Kesal memikirkan jarak antara Suhyun dan laki-laki asing yang ia suka itu ketika berdansa.
"Masa bodohlah," rutuknya begitu sampai di tujuan. Ia berjalan malas-malasan ketika netranya menemukan presensi seseorang yang tak asing, tengah duduk di kursi tunggu dengan kepala yang menunduk dalam.
Jinhwan mungkin takkan menghampirinya kalau tak melihat sepatu yang ia pakai.
"Suhyun?"
Suhyun mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Kakakku bilang ... akan menjemput di sekolah. Aku hubungi lagi akan menunggunya di sini, tapi masih belum ada."
"Hei, kenapa menangis?" tanya Jinhwan panik.
"Ada alasan lain, tapi memalukan sekali," jawabnya menutup wajah dengan tangan, "aku mau pulang."
"Iya iya pulang, bisa berdiri, tidak?" tanya Jinhwan mencoba fokus pada gadis di depannya ketika beberapa pasang mata curiga tertuju padanya. Suhyun menggeleng sambil menunjukkan kaki lecet dan sepatunya yang rusak.
Karena khawatir disangka berbuat jahat, akhirnya Jinhwan melepaskan jaket dan menyampirkannya ke bahu Suhyun supaya tak kedinginan. Mungkin juga alasannya diam di kursi tunggu karena Suhyun tak bodoh untuk membekukan dirinya di jalan.
Jinhwan berjongkok memunggunginya dan berkata, "Naik!"
"...?"
"Ayo, naik! Memangnya mau sampai kapan di sini?" tanya Jinhwan melihat jamnya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. "Gila apa, ya? Kakakmu membiarkan gadis SMA di luar sendirian mana pakai baju pesta?"
Suhyun menuruti suruhan Jinhwan. Sejujurnya ia merasa tak enak, tapi kakinya benar-benar perih bahkan untuk berjalan ke jalan raya.
"Oppa, ada tangga."
"Orang dungu sekalipun tahu ada tangga," sahut Jinhwan asal, "lalu apa gunanya mesin tangga ini?"
Suhyun nyaris tertawa mendengar kata mesin tangga. Jinhwan mengalihkan topik dengan menyempatkan bertanya di mana rumah Suhyun. Ternyata sudah dekat, malah bisa ditempuh jalan kaki.
Meski repot, Jinhwan memilih tak memesan taksi. Mungkin lebih baik mengantar langsung, karena selain daripada jadi tahu rumahnya, Jinhwan juga tak perlu mengeluarkan uang.
"Aku seolah ditolak oleh orang yang kusuka," ucap Suhyun memecahkan keheningan di mana sebelumnya hanya suara napas Jinhwan yang terdengar dan beberapa klakson mobil di jalanan.
"Aku tahu."
"Eh ...?"
"Tertebak, meski mungkin skenarionya agak berlebihan," jawab Jinhwan, "kau terjatuh sebelum memulai dansa, tepatnya di depan orang itu sampai sepatunya rusak."
"Salahhh!" Suhyun menggerutu hingga Jinhwan terkekeh di depannya. "Tadi ... dia membawa pasangan."
"Oh, jauh lebih buruk." Suhyun nyaris menggetok kepala Jinhwan kalau ia lupa lelaki itu lebih tua dan sudah mau menolongnya. Dia hanya mendengus. "Suhyun."
"Hm?"
"Padahal aku suka padamu." Suhyun mengerjap dan sontak menjauhkan tubuhnya dari sang empu. "Hei! Mau celaka, ya?!"
"Habisnya!" Wajahnya bersemu, pernyataan yang tiba-tiba itu membuatnya memeluk kaku supaya tak jatuh.
Jinhwan sendiri sempat diam, kemudian berkata, "Pertemuan pertama di pagi itu tepatnya, saat kau dengan konyolnya menubrukku kemudian nyengir tak jelas."
"Subway menjadi tempat favoritku. Karena selalu ada harapan untuk menemuimu lagi, di mana kita bisa saling menyapa tanpa harus membuat insiden tubrukan ala drama. Suhyun! Jinhwan Oppa! Bukankah lebih enak begitu?"
"Tapi sore itu kau bilang menyukai seseorang. Aku kecewa, dan berpikir untuk tak akan pernah menemuimu lagi di subway."
"Tidak sebelum aku melihatmu malam ini, menangisi seseorang yang kurasa tak perlu. Kesal rasanya, sampai tak sengaja memperlakukanmu sedikit seenaknya sejak tadi."
"Kadangkala pertanyaan-pertanyaan terasa rumit sekali, padahal jawabannya sederhana saja. Aku suka padamu, itu jawaban atas kebingungan perasaanku."
Jinhwan kadang menyesali sifatnya yang mudah meledak ketika sudah benar-benar tak tahan untuk mengungkapkan. Biasanya ini terjadi dengan bentuk amukan. Tapi kali ini kasusnya berbeda, ia menahan rasa sukanya sejak awal. Ia lupa kenyataan bahwa Suhyun mungkin masih menganggapnya orang asing.
"Maaf." Jinhwan hanya berkata begitu setelah tahu ia terlalu gegabah.
Hening berakhir ketika pagar salah satu rumah dibuka kasar dan seseorang berlari sambil menenteng sendal berbulu dengan panik, ia nyaris menubruk Jinhwan karenanya.
"Suhyun?!"
Chanhyuk—kakak Suhyun menatap adiknya dan sang kakak tingkat bergantian, hingga kemudian ia melempar asal sendal bulu itu dan menarik adiknya paksa. "Aaaa, pelan-pelan!!"
"Kenapa dari sekian banyak orang harus kau yang jadi kakaknya?" tanya Jinhwan.
"Terima kasih, tapi aku tetap takkan menyanyi!" Jinhwan mendengus dibuatnya.
Suhyun yang mengerti situasi lantas tersenyum tipis, katanya, "Kalau begitu aku saja."
"...?"
"Bukankah lebih baik kalau kita bertemu lagi secara sengaja? Di tempat selain subway."
Mengerti bahwa kalimat itu ditujukan pada Jinhwan, sang empunya menggaruk rambut dan perlahan ikut tersenyum. Pengakuannya ternyata tak membuat gadis itu benci dan takut padanya.
"Aku tunggu," sahutnya gugup karena bahagia. Malam itu Jinhwan sadar, pertemuannya dengan Suhyun di dalam subway bukanlah sebuah kebetulan semata. Tapi memang sudah seharusnya, seperti yang tertulis di buku takdir oleh Tuhan.
Keduanya saling melempar senyum malu-malu, tak peduli pada Chanhyuk yang mengerang di tengah-tengah.
"Aku tidak setujuuuuu!!"
Tamat.

YOU ARE READING
On The Subway
FanfictionAda cerita dan harapan dari tiga pertemuan. Dari pagi hari, sore hari, malam hari ... di dalam subway.