Langit Malam - Part 2

48.9K 2.3K 32
                                    

Bulan sedang menyiapkan makan malam bersama Mbok Mirna. Sementara Bumi sudah terlelap di kamarnya sejak habis maghrib. Suara mesin mobil berhenti di depan rumah memberitahukan kedatangan Reza.

Mbok Mirna tampak bergegas untuk membuka pintu tapi Bulan menahannya. "Aku aja, Mbok yang buka." Perempuan paruh baya itu hanya tersenyum dan mengangguk.

Dengan segelas air putih, Bulan bersiap menyambut kedatangan suaminya. Bulan menaruh gelas tersebut sebelum membuka pintu depan.

Reza belum sempat mengucapkan kata salam ataupun mengetuk pintu rumahnya. Tapi Bulan sudah lebih dulu membukanya.

Bulan meraih tangan Reza dan menciumnya. "Ini minumnya, Mas." Ucap Bulan seraya menyerahkan gelas yang tadi dibawanya. Reza meraihnya dengan senyum.

"Mana Bumi?"

"Dia sudah tidur." Jawab Bulan sebelum kembali ke ruang makan.

Reza melirik arlojinya. Dia terlambat pulang satu jam, perkenalan dengan bos baru membuatnya harus mengikuti acara penyambutan.

"Makan atau mandi dulu, Mas?"

Reza melirik sekilas ke arah meja makan. Melihat menu yang di masak Bulan, membuatnya memilih untuk menarik kursi meja makan. Bulan langsung menyendokkan nasi dan juga lauk untuk Reza.

"Kamu sudah makan?"

"Tadi aku sudah makan sama Bumi." Jawab Bulan.

Tidak ada pembicaraan di meja makan. Sikap Reza yang cendrung pendiam, justru membuat Bulan juga terkadang hanya mengikutinya. Reza yang selalu tenang dan Reza yang selalu sederhana. Begitulah Bulan mengenali sosok suaminya.

Suara bel berbunyi.

Siapa orang yang bertamu malam-malam begini? Tanya Bulan dalam hatinya.

"Aku saja yang buka." Seperti tahu pertanyaan dalam hati Bulan, Reza berdiri dan berjalan menuju pintu depan.

Bulan tidak mengikuti langkah suaminya. Dia menunggu tanpa ingin mengetahui siapa yang datang.

"Maaf menganggu. Saya mau mencari Bulan." Seorang pria dengan postur tubuh badan yang tinggi tegap berbicara tanpa basa-basi.

Sementara itu, hati Bulan bergetar ketika mendengar suara bass dari depan pintu. Dia langsung bersembunyi di bilik pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu. Itu Bintang. Dia pasti tidak salah mengenalinya.

"Kalau boleh tahu anda siapa?" Reza belum mempersilakan tamunya masuk.

"Saya temannya Bulan. Kebetulan kami bersahabat sejak kecil."

Baru Reza tersenyum. "Mari silakan masuk. Saya panggilkan Bulan sebentar."

Bintang mengikuti langkah Reza dan dia duduk di sofa ruang tamu, sambil sesekali melihat satu persatu foto yang menempel di dinding. Matanya menatap pada frame foto berukuran paling besar. Foto Bulan bersama pria yang tadi menyambutnya dengan balutan baju pengantin. Bintang tak kuasa menahan emosinya. Hatinya tidak bisa menerima kenyataan itu. Dia tahu ini semua kesalahannya, tapi satu yang dia yakini Bulan pun masih mencintainya sama seperti dulu.

***

Reza mencari istirnya yang tadi masih duduk manis di meja makan. Mungkin Bulan sudah ke kamar, langsung saja dia memanggil Bulan untuk menemui teman lamanya itu.

"Bun ..." Reza mendorong pintu kamarnya. Ternyata Bulan sudah berganti baju.

"Kenapa, Mas?"

"Itu ada teman lama kamu. Namanya Bintang. Temui dulu sebentar."

Bulan berusaha menutupi kegugupannya. Jangan sampai Reza berpikir macam-macam tentangnya. "Bilang aja aku sudah tidur, Mas."

Reza tertawa melihat ekspresi istrinya itu. "Aku sudah bilang ke dia untuk menunggu kamu. Ganti baju sebentar."

Bulan tidak bisa menolak permintaan suaminya. Dia langsung mengambil baju yang tadi dipakainya dan menggantinya sesegara mungkin. Bintang memang tidak main-main, dan semoga apa yang dia takutkan tidak terjadi.

***

Tidak ada siapa-siapa di ruang tamu. Bahkan pintu ruang tamu masih terbuka. Bulan melihat ke teras depan juga kosong. Kemana Bintang? Tapi selembar kertas yang terlipat di meja seperti menjelaskan sesuatu. Bergegas Bulan mengambilnya.

"Temui aku besok di Hotel Pangeran kamar 402. Aku tunggu." -Bintang-

Bulan segera meremas kertas tersebut takut kalau sampai Reza melihatnya. Sekarang dia semakin kacau, kisah cintanya dengan bintang memang belum pernah ada kata berakhir, karena mereka memang tidak pernah berani untuk memulainya. Sahabat, kata itulah yang selalu menjadi tameng dalam hubungan mereka.

***

Langit MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang