Jalan itu lurus membentang sampai di sini, lalu melingkar. Tempat yang
dilingkari itu adalah sebidang hutan yang rada lebat, menyusur ke tengah hutan
itulah jalan ini terus menembus ke sana.
Meski sudah dekat senja, namun hawa musim panas bulan enam masih tetap
membuat orang kegerahan.
Desir angin sedikitpun tidak terdengar, suasana sunyi senyap. Semula jalanan
itu tiada nampak seorangpun, tapi dari kejauhan kini mendadak debu mengepul
tinggi, berbondong-bondong beberapa ekor kuda tampak dilarikan kemari setiba
di depan hutan, serentak para penunggang kuda itu berhenti.
Baik kelima ekor kudanya maupun para penunggangnya tampak rada aneh,
penunggangnya memakai seragam baju sutera hijau muda diberi wiru benang
emas. Bagi orang yang cukup makan asam garam, sekali pandang saja akan tahu
pakaian sutera mereka itu pasti tidak mungkin terbeli oleh orang biasa.
Yang lebih aneh adalah pedal pelana kelima ekor kuda itupun bercahaya
mengkilap keemasan. Di bawah sinar matahari, kelima orang itu dengan kuda
tunggangnya menjadi gemerlapan dengan cahaya keemasan yang menyilaukan
mata.
Sejenak kelima penunggang kuda itu berhenti di situ, lalu mereka menjalankan
kudanya pelahan-lahan ke dalam hutan.
Salah seorang laki-laki yang bergodek mendorong ke belakang ikat kepalanya
yang berhias sebutir mutiara, lalu memandang sekelilingnya sambil
berpegangan pelana, katanya kemudian kepada teman yang berada di
sampingnya:
"Tempat ini terasa sejuk dan tenang, kukira bolehlah kita mengaso saja di sini.
Toh sudah pasti sasaran kita itu akan lewat di sini, biarlah kita tunggu saja di sini
dari pada capai-capai mencegatnya ke sana. Jika sekali ulur tangan segera kita
padamkan 'lenteranya' (maksudnya matanya), nah, baru menyenangkan
rasanya"
Lelaki bercambang itu tidak saja tegap dan gagah, suaranya juga lantang, dari
logatnya dapat diketahui orang dari kota raja. Anehnya tokoh macam begini
mengapa memakai baju demikian? Di balik keanehannya menjadi rada-rada
ajaib pula.
Habis berkata, tanpa menunggu tanggapan orang lain, segera ia sisipkan
cambuknya pada sisi pelana, cepat ia melompat turun. Dari gerakannya yang
gesit dan tangkas itu agaknya kungfunya tidak rendah.
Kawannya, seorang lelaki tinggi kurus, lantas mendengus:
"Hm, coba lihat, jelas selama ini Loji telah menelantarkan kungfunya, baru
menempuh perjalanan sedikit saja dia sudah kepayahan, kalau bisa akan terus
menjatuhkan diri ke atas kasur. Cara bicaranya juga seenaknya saja seakan-akan
beberapa orang itu adalah anak buahnya, cukup sekali menjulur tangan dan