[SUDAH TERBIT - TEEN FICTION]
Menyimpan sebuah kilasan waktu dalam memori, yang tak pernah luruh bersama detik. Membawa kotak keabadian atas pertemuan yang tak dinanti, dengan segala harap yang terapal hati-hati.
Agatha adalah kelabu, warna kelam ya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Stay safe semua!❤️
***
Minggu, '18. Polasan jingga bertandang pekat. Dengan lalu lintas yang merayap padat, menemani gedung-gedung tinggi bertingkat. Sedang, pewarna angkasa tumpah di ufuk barat dan gegana menyimak. Desirnya menerpa, menjuntaikan helai-helai surai lembut yang terserak.
Di kaki langit, baskara hadir. Menampilkan pelita perpisahan. Menonton terik yang memudar dan disaksikan oleh ketiga remaja yang bertengger di pinggir langkan. Mereka memandang langit di balik dinding pembatas, seakan tak membuat mereka menghindar dari maut di ujung sana. Ketiganya saling menggenggam. Tak ingin lepas. Tak ingin dihantam nahas. Tak ingin jatuh mengenaskan.
"Thea jadi pengen tau, gimana rasanya terjun bebas dari ketinggian." Netra biru milik seorang gadis itu menajam. Menusuk prahara dengan senyum tipis yang mendalam. "Fall, kayak daun maple yang berguguran."
"Pikiran Thea terlalu rumit, Dimi nggak ngerti." Lelaki bernetra sekelam malam itu menyahut.
"Dimi selalu ngomong gitu." Thea memberungut. Kini tilikannya berkisar, memandang sosok lelaki yang diam tanpa tutur. "Tapi lebih baik. Daripada cuma diem aja kayak Zavier, bikin bete."
"Hm?" Satu alisnya menukik dan Zavier kembali menatap jauh ke bawah bangunan. Seolah ia lebih sibuk menghitung ketinggian, daripada turut mendengar ocehan.
"Thea itu punya harapan, loh." Gadis itu berucap, seraya mengeratkan taut genggam di antara jari-jarinya. "Supaya suatu saat kita bertiga bisa berteduh di bawah pohon maple sambil minum sirup dan kita liat gimana romatisnya daun-daun maple yang berjatuhan."
Ada harap yang mengabur selama untai aksara berkala, seperti pepohonan di musim gugur. Jatuh, berserakan dan sadrah dibawa hampa. Diam—menunggu terdekam.
"Thea mau di sana, sama orang yang Thea sayang. Karena yang Thea dengar, 'if you catch a falling maple leaf. You'll fall in love with the person you're walking with'."
Seutas rangkaian kata mencair. Lalu terjun, mengalir—deras, penuh pinta. Tetapi Dimi tak terpusat pada apa yang dicelus. Ia justru tertarik, akan binar-binar dari netra biru, juga senyum lebar yang tak usai hanyut.
Sampai kemudian realita berlabuh, mengikat dada. Sesak dan pahit berlarut menjadi satu. Membuat Dimi tersadar, kepada siapa si pemilik netra biru itu menghunjam. Dalam, mendeburkan harap-harap tinggi yang runtuh sekejap. Sialan, Thea telah melambung jauh. Pergi, meninggalkan luka tak kasatmata yang menganga kian lebar.
Thea tak pernah menganggap Dimi ada. Cinta gadis itu hanya untuk Zavier, bukan dirinya.
Dering jam di atas nakas membuat Zavier terjaga. Bersama gusarnya hela napas dengan sentak di kelopak mata. Lelaki itu melengos, seraya beranjak bangkit dari tilam putihnya yang tak lagi tertata.