1

33 9 20
                                    

Ibuku menaburkan bedak asal yang membuat beberapa bagian pipi ku putih sekali dan dahi ku masih belum terkena bedak. Tapi aku tidak peduli. Hari ini memasuki bulan ke tiga ku di taman kanak kanak.

TK dengan cat berwarna warni itu tepat di depan rumahku dan guru TK ku adalah tetangga sebelah kanan rumah. Jadi setiap pagi, aku menekan bel rumah guru TK ku itu untuk mengajaknya berangkat bersama. Yang paling seru, aku akan diberi kunci untuk membuka pintu kelas. Walaupun aku harus menunggu lama sampai teman teman yang lain datang, tapi aku tidak bosan karena aku dapat duduk manis di kursi dan meja berwarna merah muda.

***

Hore! Akhirnya setelah berbaris dan bernyanyi beberapa lagu ceria, kami berdoa untuk memulai kelas.

Guru di kelas ku adalah tetangga sebelah barat ku. Aku suka dukanya ketika menjadi kenal dekat dengan Guru di sekolah. Pernah saat aku bermain dan mengambil rambutan milik pak RT, keesokan harinya saat pelajaran Ibu Guru itu menyindir.

"Anak anak, kita tidak boleh mencuri ya.. contohnya mengambil buah rambutan di rumah pak RT" seketika itu seisi ruangan dengan hiasan dinding lucu ini tertawa lepas.

Huh.. setidaknya namaku dikenal dan tidak menjadi murid yang tidak terlihat.

"Anak anak, hari ini kita akan berlatih dialog. Siapa yang mau maju ke depan?" selepas mengatakan itu Ibu Guru di depan kelas berusaha membujuk anak anak berumur 5 tahunan itu.

"Saya Bu Guru!" Seorang anak laki laki berdiri dan mengangkat tangan kanannya tinggi tinggi.

Dia Nata. Siswa TK yang disukai semua orang. Oleh Guru karena pintar dan teman teman yang lain karena keren dan tampan.
Aku pernah dengannya mengikuti siaran radio bersama anak dari TK lain. Tapi kami tidak saling bertegur sapa.

"Nata mau berdialog dengan siapa?" Tanya Bu Guru kepada muridnya yang berdiri di sebelahnya itu.

"Fera!"
"Fera.. Fera.."
"Sama Fera!!"

Sahut yang lain. Sedangkan si yang punya nama senyum senyum malu. Sudah menjadi rahasia umum kalau Fera adalah penggemar nomor satu Nata.

"Adiba" ucap Nata Akhirnya.

Di luar dugaan. Anak anak berhenti menyerukan nama Fera lagi. Dan ku lihat Fera mengerucutkan mulutnya sebal. Dan aku berdiri dari tempat duduk dan dengan senyum lebar maju ke depan.

Ya.. namaku Adiba. Anak berlesung pipi dan penyuka warna merah muda.

Setelah berhadapan dengan Nata untuk bercakap cakap, senyum ku hilang. Muka ku datar karena gugup.

Yang ku bilang tadi tentang semua orang suka Nata, aku tidak membual. Dan begitu juga denganku. Dia hampir mendekati sempurna. Anggap saja aku satu dari sekian orang yang kagum padanya.

"Hai Adiba" Nata memulai dialog.

"Hai Nata" jawabku cepat dan tak ku rencanakan tangan kananku terangkat melengkapi ucap salam ku.

Astaga kenapa aku ini? Sehebat itukah Nata membuat diriku segugup ini?

"Cie.. cie.."
"Cie.."

yang lainnya memperhatikan dan melontarkan kata yang populer pada saat itu.

"Kamu mau ke mana?" Lanjut Nata menghiraukan kehebohan teman temannya.

"Mau.. beli" wajahku terlihat tidak nyaman karena berfikir.

"Beli apa?" Tanya Nata kembali.

"Beli.." mataku menyapu seisi kelas mencari hal apapun yang dapat di beli.

"..minyak!" Sontak anak anak yang lain langung tertawa.

Jangan salah sangka, di TK ku tidak ada minyak. Aku nya saja yang tidak dapat berfikir dengan normal.

Bel istirahat berbunyi. Setidaknya aku dapat menjernihkan pikiran atas kejadian tadi.

Sama seperti hari hari lalu, aku dan Safa segera berlari untuk mendapat ayunan berwarna merah muda.

Dan kerja keras kami terbayar. Namun, tak lama setelah beberapa kaki ku membantu ayunan ini bergerak, teman laki laki yang badannya besar itu bersama dua temannya mendekati kami.

"Minggir!" Usir nya kepada ku dan Safa.

"Nanti dulu.. kita baru sebentar." Ucap Safa. Sedangkan aku cuek saja dan tetap melanjutkan bermain.

Wajah anak yang kuketahui bernama Diki itu memerah marah. Tanpa ba bi bu, tangan besarnya menarik tangan ku. Aku yang tak siap pun hampir terhuyung ke depan. Safa mendekat berusaha melerai sementara dua anak buah Diki tertawa mengejek.

Diki seperti tak ada niatan untuk melepas tanganku. Malahan tangan ini yang ukuran nya lebih kecil dari miliknya diputar seperti Ibuku yang memeras baju sehabis di cuci.

"Aakhh!!!" Aku teriak sekencang kencangnya.

"Bu Guru!!" Safa tak kalah kencang suaranya dengan ku.

Sampai kini aku di kelas untuk dipijit Bu Guru, aku masih menangis keras. Tangan ku memerah. Bu Guru kembali mengoleskan minyak kayu putih ke tanganku sedangkan Bu Guru yang satunya berusaha menenangkan ku.

"Adiba kenapa?" Tanya Abi teman sekelasku dan tetangga belakang rumahku yang baru saja masuk bersama tiga orang temannya.

"Adiba gak apa apa, Bi. Ini ajak Adiba main ya" jawab Bu Guru tak membuat suasana tegang.

Ingin ku mengatakan, gak apa apa apanya? Tanganku baru saja diputar entah sampai berapa derajat. Dan ini rasanya sakit sekali. Namun kuurungkan niatku saat ekor mataku menemukan Nata berjalan di belakang Abi dan teman temannya.

Kami ber lima berkumpul di meja dan menyiapkan mainan yang asing bagiku.

"Ini gasing, Adiba" Abi berkata seolah mengerti apa isi pikiranku.

Aku hanya membalas dengan mulut membulat.

Abi dan ke tiga temannya yang tak ku ketahui namanya telah melepaskan gasing mereka dan beradu mana yang paling lama berputar.

Mata ku kagum melihatnya. Harusnya memang yanh berputar itu gasing ini bukan malah tanganku.

"Mau coba?" Suara laki laki disebelah ku membuyarkan lamunan.

Ku tolehkan kepalaku ke sumber suara. Disana ku bertemu dengan mata Nata. Tangannya terangkan menawarkan gasing nya padaku.

Tentu saja aku mau. Tanpa menjawabnya aku menerima benda berwarna hijau itu.

Sejenak ku pikir, bagaimana cara agar ini berputar?
Asal saja ku lemparkan gasing milik Nata ke meja. Bukannya berputar, gasing itu malah pecah. Lebih tepatnya terbelah menjadi dua. Sekeras itukah tanganku melempar?

"Gimana si! Gitu aja gak bisa!" Kesal Nata seraya berusaha menyatukan kembali gasing nya tanpa memperdulikan ku.

Aku takut. Nata marah padaku.

Karena itu, aku kembali menangis untuk yang kedua kalinya hari ini.

***

Keesokan harinya aku tidak berangkat. Bukan karena takut tanganku akan dipelintir lagi oleh Diki,  tapi aku sakit flu dan deman. Namun, dengar dengar dari Abi, teman teman di sekolah malah menyalahkan Nata yang membuat ku menangis kemarin.

Lucu memang, tapi saat aku kembali berangkat sekolah, hal tak terduga lainnya terjadi.

Aku dihadang di depan pintu kelas oleh anak anak. Hari ini aku tidak berangkat awal denga  Bu Guru tetanggaku.
Setelah gerombolan itu minggir, ana Nata di sana. Mengangkat tangan kanannya untuk disambut oleh salaman. Dia mengajaku bersalaman? Tapi kita kan sudah saling kenal.

"Aku minta maaf" wajah Nata datar mengucapkan tiga kata itu.

Entah Nata tulus melakukannya, atau dipaksa teman teman yang lain, tapi aku tetap membalas salamannya. Dan aku suka.

TigabelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang