Matahari pagi sudah menampakkan diri menyambut hari. Keluarga Abi Falah juga sudah siap dengan segala aktivitas mereka. Renald masih terbaring lemah di ranjangnya. Semalam pria itu pulang larut malam dengan alasan diajak teman kantornya pergi ke diskotek. Pada kenyatannya dia datang kesana sendiri.
"Renald belum bangun?" tanya Umi pada Fanya ketika ibu hamil itu keluar kamar.
"Belum mi. Kasian mas Renald dia lelah. Dia terlalu mudah dibujuk temannya Mi." Keluh Fanya.
"Fanya... bukan Umi memprovokasi tapi jangan terlalu percaya dengan ucapan Renald. Dia sejak muda begitu. Mungkin jika kamu tidak bersedia dijodohkan dengannya dia akan lebih buruk lagi."
"Ada apa memangnya Mi?" tanya Abi yang sekilas mendengar percakapan mereka.
"Tidak ada apa-apa Bi. Mari duduk Bi." Alibi Umi. Semalam Abi tidur sehingga tidak tahu bahwa Renald pulang dalam keadaan mabuk.
Umi mempersilahkan Abi duduk. Shafa sibuk menggoreng tempe di dapur. Fanya mengoleskan selai pada rotinya.
"Abi kok mencium bau-bau alkohol ya? Apa Renald mabuk lagi?"
"Ah mungkin hanya penciuman Abi saja." Lagi-lagi Umi menutupi kebenaran. Perasaan Fanya tak karuan. Hatinya sedikit perih setelah melihat tingkah Umi menutupi kesalahan suaminya. Ia juga kembali mengingat beberapa waktu silam sebelum ia menerima perjodohannya dengam Renald.
"Umi... Abi... Fanya permisi" Fanya membiarkan rotinya tergeletak karena nafsu makannya hilang. Ia kembali ke kamar dan berlari ke balkon. Wanita itu mendudukkan diri di kursi lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Ingin rasanya ia menangis mengingat Renald kembali menjadi pribadi buruk seperti dulu lagi. Dahulu ia masih bisa menerima karena berharap bahwa Renald akan berubah suatu waktu nanti. Namun setelah kejadian semalam dan ucapan Umi tadi pagi membuatnya hilang harapan. Ia sadar bahwa berharap pada manusia pasti akan semenyakitkan ini pada akhirnya.
"Kamu kenapa?" tanya Renald sambil menguap dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
"Udah bangun? Sarapan udah siap. Ayo makan!" ajak Fanya lalu beranjak keluar kamar.
Renald memegang tangan Fanya. Ia menarik istrinya dalam pelukannya. Fanya sedikit memberontak namun setelah menemukan kenyamanan ia menikmati.
"Maafin aku, Nya. Kemarin malam aku berbohong. Aku tahu kamu pasti sedih dan mikir negatif tentang aku tapi... percayalah aku kesana cuma mengintai lawan klien kerja aku. Ini semata-mata untuk kasus di pengadilan kok." Fanya mendengar dengan jelas namun entah mengapa air matanya malah mengalir.
"Kok malah nangis?" tanya Renald.
"Aku udah jujur sama kamu, Nya. Aku ga bohong kok!" sambung Renald.
Fanya mengeratkan pelukannya tak rela melepaskan Renald. "Nanti kalau baju aku kena ingus kamu gimana?" gurau Renald. Fanya terkekeh.
"Mandi dulu baru sarapan. Nanti ketahuan Abi kalau semalam kamu mabuk!"
"Masak kemarin malam aku mabuk?"
"Enggak ada alasan lagi kalau kamu mau menyangkal. Umi juga tau! Tuh bau badan kamu juga! Lagian namanya mabok yang enggak inget!" ketus Fanya.
"Tapi kalau semalam aku mabok kenapa masih bisa liat cewek secantik kamu ya?"
"Masih pagi udah gombal! Udah ah aku mau balik ke ruang makan dulu. Baru inget rotinya ketinggalan."
"Dasar pelupa!" Fanya tak menanggapi ucapan suaminya. Ia kembali duduk di depan roti yang sempat ia tinggalkan karena hatinya yang sedang tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Know?
RandomJadilah saksi kisah pelik antara Alka, Ana, Shafa, dan ustadz muda bernama Naufal. Semoga ini menjadi kisah yang akan tamat entah kapan waktunya. Salam dariku, binzie :)