Pergi

411 41 1
                                    

Gadis itu perlahan membuka matanya. Awalnya ia kesulitan menerima cahaya yang menyapa matanya, semuanya tampak rabun dan tidak jelas. Setelah berkedip beberapa kali, akhirnya ia bisa melihat langit-langit ruangan itu dengan jelas.

Setelah itu ia menatap sekelilingnya, tatapannya berhenti pada sofa yang tak jauh dari ranjangnya. Ada orang yang sedang tertidur pulas di atasnya, wajahnya kelihatan kelelahan namun dalam tidur yang damai.

Kak Awan.. Batin Karen saat melihat laki-laki itu.

Saat Karen ingin mencoba menggerakkan tangannya, rasanya sangat sulit sekali. Bahkan ia tak mampu menggerakkan seluruh tubuhnya kecuali kepala. Kecelakaan yang menimpanya memang parah, sehingga butuh waktu lama untuk penyembuhan.

Karen memilih untuk memperhatikan Awan, ia ingat bagaimana ia meminta laki-laki itu untuk berpisah dengannya. Bagi Karen, keputusannya adalah yang terbaik. Karen ingin memanggil laki-laki itu, tapi suaranya sulit sekali dikeluarkan, lidahnya seperti kelu, tenggorokannya sakit.

Tiba-tiba Awan menggeliat dalam tidurnya, kelopak mata Awan bergerak-gerak, sebelum akhirnya terbuka perlahan dan menampilkan bola mata yang sangat Karen rindukan.

"Karen?" Awan melihat Karen dengan tatapan tak percaya. Laki-laki itu menepuk pipinya, memeriksa apakah ia masih bermimpi untuk bisa melihat Karen membuka matanya.

"Akhirnya lu bangun setelah satu bulan lebih.." Awan tampak bahagia sekali, wajahnya langsung cerah berseri.

Awan langsung berdiri, menghampiri Karen dan menekan tombol yang akan memanggil petugas medis.

Tak lama Dokter dan perawat masuk ke ruangan. Mereka langsung memeriksa keadaan Karen. Menyuruh gadis itu merespon ucapan Dokter, seperti berkedip jika mendengar, mencoba untuk berbicara walaupun sulit, dan menggerakkan beberapa bagian tubuhnya.

Awan yang melihat Karen sangat sulit untuk sekedar berbicara atau menggerakkan telapak tangannya, merasa sangat bersalah. Rasa bersalah dan menyesal yang selalu menyiksanya.

***

Hari ini Karen kembali menjalani terapi penyembuhannya bersama seorang perawat bernama Sena, Sena sangat ramah dan menyenangkan. Sena mampu menghibur dan menyemangati Karen setiap gadis itu merasa lelah.

Karen sudah bisa berbicara meskipun tenggorokannya masih terasa sakit, ia juga sudah bisa menggerakkan tubuhnya setelah hampir satu bulan terapi penyembuhan. Namun ia masih belum bisa berjalan, hanya bisa berdiri dengan berpegangan.

"Nah.. pelan-pelan.." Sena terus memberi arahan pada Karen yang kini berdiri memegangi besi panjang di kedua sisi tubuhnya. Ia melatih kakinya agar bisa berjalan seperti sedia kala.

Keringat bercucuran di wajah Karen, ia sangat takut terjatuh karena kakinya yang tidak bisa menahan berat tubuhnya terlalu lama, namun berkat arahan dan dukungan dari Sena, ia bisa berjalan lebih baik hari ini dibanding kemarin.

"Nah, hari ini udah cukup latihannya. Ayo saya antar ke ruangan kamu." Kata Sena dengan senyum ramahnya, ia membantu Karen untuk duduk di kursi roda.

Sena membawa gadis itu ke ruangan rawat inap, juga membantu Karen agar terbaring lagi di ranjang kamar rawatnya. "Terimakasih Suster!" Kata Karen dengan senyum riang. Sena tersenyum manis dan menepuk pelan puncak kepala Karen.

"Sama-sama cantik! Semangat ya Karen." Jawabnya lalu pergi dari ruangan itu.

Kini Karen sendirian lagi. Tidak ada yang menemaninya disaat ia sangat membutuhkan seseorang disini. Ia tidak marah pada siapapun atas kejadian yang menimpanya. Ia selalu berusaha baik-baik saja dan tidak mau mengeluh. Padahal hatinya sangat rapuh dan terpuruk atas apa yang menimpanya.

Pintu terbuka, seseorang masuk ke dalam dengan membawa kantong berisikan buah, "Karen.." gumam Awan dengan wajah sumringahnya. Awan menghampiri Karen dan meletakkan kantong buah itu di meja.

"Ini gua bawain Apel sama Jeruk—"

"Kenapa kakak masih kesini?" Tanya Karen dengan sorot dinginnya. Sebenarnya Karen sangat merindukan pria ini. Namun mereka sudah berpisah, dan itulah yang terbaik bagi mereka berdua menurut Karen.

Maaf... Batin Karen saat melihat wajah Awan yang kecewa atas ucapan Karen.

Karen sudah sering mengusir Awan saat laki-laki itu datang menjenguknya. Menurut Karen, ia dan Awan memang harus berpisah dan tidak boleh berhubungan lagi.

"Tapi Zania udah meninggal—"

"Terus kalo Kak Nia udah meninggal kenapa?" Karen tidak suka dengan kalimat yang dilontarkan Awan, Seolah dengan meninggalnya Nia, Karen merasa senang karena Awan kini bisa bersamanya sepuasnya.

"Justru karena Kak Nia meninggal, aku gak mau ketemu kakak lagi. Itu yang terbaik buat kita berdua." Kembali, ucapan Karen menohok hati Awan. Sebenarnya Karen tidak paham dengan apa yang ia pikirkan, ia tidak mengerti mengapa baginya berpisah dengan Awan adalah jalan yang benar setelah semua kejadian yang menimpa mereka berdua. Karen memang marah pada Awan, tapi bukan itu alasannya. Karen tetap mencintai Awan dan menginginkan laki-laki itu, tapi baginya, ia harus merelakan Awan. Itu yang terbaik.

"Gua sayang sama lu Ren." Hati Karen hancur mendengar pernyataan Awan. Ia sangat ingin memeluk Awan dan menangis sepuasnya.

"Aku udah gak punya perasaan apapun sama Kakak."

Bohong. Batin Karen.

"Gua tau lu boong Ren, apa lu bener-bener gak bisa maafin gua?"

"Aku udah maafin Kakak." Karen menatap mata Awan yang penuh dengan kekecewaan, "Dan perasaan aku ke kakak udah hilang."

"Karen... please jangan kayak gini—"

"Aku benci kakak." Karen ingin sekali menangis sekarang, seperti ada pisau tak kasat mata yang menghujam dadanya, sesak.

"Jadi, mulai sekarang menjauh dari aku." Ucap Karen dengan penuh penekanan. Tatapan datar dari Karen membuat Awan diam seribu bahasa.

"Oke, kalo itu mau lu," Awan berbalik dan melangkah menuju pintu.

"Gua pergi, semoga lu selalu bahagia Karenina."

***

sad ending? happy ending? jangan lupa Vote and comment yaa✨

4/5/2020

Karena AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang