Mama

383 33 3
                                    

Buk

Seseorang memukul preman itu dengan keras sampai terpental dan menjauhi tubuh Karen. Karen langsung berdiri dan menjauh. Preman itu dipukul lagi hingga terjatuh di lantai, kerahnya di cengkeram dan wajahnya kembali di pukul.

"Vian?" Gumam Karen saat memperhatikan siapa yang telah menolongnya. Vian berkelahi dengan preman itu, ia terus memukulinya tanpa ampun. Awalnya Vian juga terkena pukulan balik sampai pipinya memar, sampai pada akhirnya preman itu kalah dan kabur begitu saja.

Vian menghampiri Karen, "Lu gak papa?" Wajah Vian terlihat khawatir melihat ekspresi Karen yang ketakutan. Vian mengambil ponsel Karen yang tadi terlempar dan memberikannya pada gadis itu.

Vian juga melepaskan hoodienya dan memberikannya pada Karen. "Seragam lu basah kuyup, pake ini."

Karen melihat hoodie yang diberikan Vian, kemudian mengambilnya perlahan dan memakainya. Ia bersyukur ada yang menyelamatkannya, jika tidak ada, apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Ia masih ingin sekolah, berprestasi dan melakukan banyak hal.

"Lu pasti masih takut, ayo gua anter pulang." Vian berdiri dan membantu Karen berdiri.

Karen hanya diam seribu bahasa. Bahkan saat di perjalananpun Karen hanya diam. Jalanan yang Vian lewati mulai ramai, tidak sepi seperti jalanan dekat rumah sakit yang membahayakannya tadi.

Saat sudah sampai di depan rumah Karen, Karen turun dari motor Vian, "Makasih udah nolongin aku." Lirih Karen, Vian hanya tersenyum dan menatap Karen dengan pandangan menenangkan gadis itu.

"Hoodienya lu bawa dulu aja, besok pas di sekolah baru kasih ke gua." Setelah mengucapkan itu Vian langsung menyalakan motornya dan pergi. Karen langsung berbalik dan masuk ke dalam rumah.

***

Pagi ini Karen merasa tidak enak badan, jadi ia memutuskan untuk tetap berada di kasur dan bergelung dengan selimutnya. Ia tidak akan pergi ke sekolah dan ingin melanjutkan tidurnya saat alarm di Handphonenya berbunyi menandakan ia harus bersiap ke sekolah.

Seperti rencananya, Karen benar-benar tidur seharian. Saat menjelang maghrib, ia bangun dan berjalan ke lantai bawah, selalu tidak ada orang, mungkin tantenya sedang berkeliling dengan pesawat, atau sibuk di asramanya. Ia mengambil air dari kulkas dan meminumnya. Karen tidak napsu makan, padahal ia sama sekali belum makan sejak kemarin siang. Ia berjalan ke ruang tengah dan duduk di sofa. Dirabanya tempat di samping ia duduk, rasanya baru kemarin Awan duduk disini dan mencium keningnya, sekarang hubungan mereka sudah renggang saja.

Suara bel yang terus dipencet terdengar berulang kali, memecahkan lamunan Karen tentang bayangan wajah Awan yang menyenangkan. Karen berlari ke pintu utama rumahnya, "Sebentar." Katanya seraya membuka pintu.

"Ma...mama?" Karen mematung melihat wanita di depannya dengan rasa takut.

Itu ibunya. Ibunya yang baru pulang setelah sekian lama tidak pernah menemuinya dan selalu tempramen padanya sejak kecil. Ibunya yang sama sekali tidak pernah menghubunginya hanya untuk sekedar menyapa.

"Kamu lama banget sih bukain pintunya." Yani masuk ke dalam rumah sambil menarik kopernya. Yani langsung duduk di sofa ruang tamu dan melepaskan sepatu bootnya.

"Mama kok tiba-tiba dateng?" Tanya Karen dengan hati-hati seraya menutup pintu.

"Memangnya kenapa? ini rumah mama. Kenapa harus izin sama kamu dulu kalo mau kesini?" Jawab Yani dengan tidak suka, ia melempar sepatunya asal di lantai.

"Bukan masalah izin, tapi bukannya mama udah lupa sama aku dan rumah ini." Ucapan Karen bukanlah pertanyaan, tapi sebuah pernyataan yang ingin ia utarakan sejak dulu.

"Kamu mulai kurang ajar lagi ya."

"Emang kenyataannya kayak gitu, mama gak pernah peduli sama aku, malah selalu nyiksa aku." Karen mulai kesal dengan Mamanya yang selalu keterlaluan padanya. Dulu ia sering di kurung di kamar mandi dalam keadaan basah kuyup selama berjam-jam, padahal hanya karena ia terpeleset dan mengenai badan mamanya saat jatuh karena lantai yang licin habis di pel. Mamanya memang sangat berubah semenjak Papanya meninggal. Sangat emosian dan ringan tangan.

"Tahu apa kamu anak kecil!" Yani membentak Karen kemudian berdiri, lalu mendekati Karen dengan tatapan penuh kekesalan.

"Emang Mama gak sadar sama diri mama sendiri? mama tuh kayak orang gila! nyiksa anak sendiri karena gak bisa terima kematian Papa!"

Plak.

Yani menampar Karen dengan sangat kencang sampai setetes darah keluar dari ujung bibir Karen. Karen yang langsung jatuh terduduk di lantai terdiam memegangi pipinya yang merah sampai sedikit membiru.

"Mama mau apa?! mau bunuh aku? bunuh aja sekalian biar mama sadar sama kelakuan mama yang keterlaluan!"

"Sini kamu anak kecil!" Yani menjambak rambut Karen dan mendorongnya lagi hingga punggung Karen membentur lemari pendek yang ada di ruang tamu dengan kencang. "Kamu kurang ajar ya sama mama! mulut kamu tuh udah mama sekolahin kenapa malah makin kurang ajar?!" Yani seperti orang kesetanan.

"Mama yang gila kayak orang gak pernah sekolah!" Karen kembali membalas ucapan Mamanya yang sudah berapi-api.

Plak.

Yani menampar Karen lagi, sejak dulu Yani sangat tidak suka jika ada orang lain membahas kematian suaminya.

Air mata Karen tidak dapat dibendung, pipinya memar dan bagian dalamnya terasa sangat sakit, ujung bibirnya juga meneteskan darah lagi. Wajah Karen benar-benar berantakan dengan banyak air mata, ia berlari ke lantai atas dan mengunci pintu kmarnya. Ia langsung menenggelamkan wajahnya di bantal.

Selang beberapa lama menangis, Karen mengambil Handphonenya dan menghubungi seseorang. Lama menunggu, akhirnya Awan mengangkat teleponnya.

"Halo," Suara Awan terdengar di telinga Karen. "Gua lagi sibuk." Lanjut Awan.

"Ka, aku mau ngomong." Suara Karen sangat serak.

"Gua gak butuh omong kosong lu, gua gak ada waktu buat denger penjelasan lu." Awan sangat dingin seperti orang lain.

"Tapi aku—" Awan langsung memutuskan sambungan telepon itu. Karen menatap layar ponselnya dengan tatapan nanar. Ia kembali menangis dalam diam.

Segitu marahnya? sampai gak peduli saat aku butuh kaka? batinnya.

Ia bangkit dari posisinya dan mengambil salah satu hoodienya dengan asal kemudian memakainya. Ia keluar dari kamar seraya membawa kunci motornya yang jarang sekali ia pakai, ia langsung menyalakan motornya saat sudah di garasi, membuka gerbang dan melesat pergi dari rumah.

***

15/4/2020

Karena AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang