Beda mimpi, beda langkah

25 0 0
                                    

"Lagi, ma?" tanya Bintang, sembari melangkahkan kaki ke kamarnya. 

"Emang mama ga Bosen kita bahas ini terus?"

"Bosen. Makanya kamu nurut sama mama. Orang tua itu tau yang terbaik untuk anaknya, sayang." Jawab mama sabar, mengikuti jejak Bintang.

 "hmm" Bintang mengiyakan tanpa kata, memasang raut tak acuh. Langkah Bintang terhenti, teralihkan oleh karyanya yang masih butuh sentuhan akhir. 

"Kamu denger mama ga sih?"

"Iya maaa..." Bintang menoleh dengan malas. 

"Ya Tuhan, mata kamu!" Mama menelisik lingkar mata Bintang yang mulai menghitam, kemudian berdecak pelan. "Ini nih yang bikin mama ga setuju. Kamu semalam suntuk, sampai lupa waktu, lupa jaga kesehatan hanya untuk ini?" Tekanan darah mama mulai meningkat setelah mendapat bukti konkret yang menempel di tubuh Bintang. Degup jantungnya lebih cepat dari saat ia menyiapkan sarapan pagi tadi. Tubuhnya mulai dipenuhi hormon adrenalin. "Sreeek" mama merobek lukisan Bintang dengan perasaan puas terlampiaskan. 

"Ma! jangan! Mama kan tau aku ngerjain ini semaleman untuk pameran besok. sekarang aku harus bilang apa ke Denis? Aku ga jadi kirim lukisan, gitu?" Bintang berteriak kecewa, menatap mama yang mulai merasa bersalah. "Ini kan acara besar ma...". 

"Maafin mama.. mama ga bermaksud. Mama coba bantu bikin lagi ya?" Bujuk mama, berusaha memeluk bintang. 

"Ga perlu". Bintang kini membelakangi mama, membereskan peralatan lukisnya, menyembunyikan tangisnya. 

"Sungguh, mama ga bermaksud." Ucap mama pelan, menutup pembicaraan. 

Mama melangkahkan kaki ke luar ruangan. Tangis Bintang pecah. Betapa hancurnya hati Bintang. Besok adalah hari yang paling ia tunggu sejak pameran tahun lalu. Besok akan menjadi kali kedua lukisannya dipamerkan di dinding bersih, ditatap ribuan pasang mata. Dahulu, Bintang dituntut untuk punya mimpi. Tak disangka, sekarang malah direnggut. Ia menatap nanar ke sudut ruangan. Seonggok ransel gunung memohon petualangan setelah sekian lama.

Ponsel canggihnya berbunyi, memecah keheningan. "Eh lu kemana aja sih? daritadi gua chat ga dibaca-baca. Kirain ga punya kuota. Pasti lagi ngelukis ya? oh ya, gimana pameran besok? jadi?" celoteh panjangnya memekakkan telinga dalam satu tarikan nafas, seperti biasa. Mungkin Bintang adalah orang paling sabar dalam menghadapi cerewetnya Kejora. 

"Satu-satu dong nanya-nya. Soal pameran, gua udah ga minat ikut itu." jawab Bintang singkat, menyeka air mata. 

"Wah! Bagus dong, berarti lu bisa ikut kita! yaudah, sekarang siapin ransel lu, jangan lupa bawa jaket tebal. Tenda udah di siapin sama tim."

"Ikut apa? gua ga tau apa-apa. Mendadak banget ra!". "Ih bawel! Siapin aja keperluan individu. Lu ga lupa kan kalau besok gua sama yang lain berangkat marathon 3 gunung di Jawa?" 

"Ya Tuhan! Oh iya!" Bintang menepuk jidat 

"Jangan lupa juga bawa mainan lu yang warna warni itu ya. Pemandangan disana bagus. Tangan lu pasti gatal ngeliatnya."

Terimakasih kepada Kejora, awan gelap mulai tersingkirkan oleh celotehnya. Akhirnya cerewetnya membuahkan manfaat. Semua beban dipundak Bintang mulai terangkat, juga suara dikepala mulai terdiam. Inilah yang ia inginkan. Hidup bebas, berpetualang sembari berkarya di alam luas. Tanpa pikir panjang, ia mulai mempersiapkan segala keperluannya. Hanya karena mimpinya dan mimpi mama tidak sama, bukan berarti mimpinya tidak penting. Itu prinsipnya sekarang.

Find a Way Back HomeWhere stories live. Discover now