I

15 0 0
                                    

Ada suatu hal yang mengganjal di pintu masuk akal Pak Takdir dan membuatnya hampir habis pikir. Pram, anak sulungnya yang sekarang sedang kuliah, menunjukkan gelagat yang tidak ‘sehat’, menurut pendapat Pak Takdir. Masalahnya berhubungan dengan hal yang paling fundamental, yaitu agama. Pram yang sekarang tidak lagi sama dengan Pram yang dikenal oleh Pak Takdir sebelumnya.

Masih tersimpan dalam ingatan Pak Takdir masa-masa ketika Pram adalah seorang anak yang sangat taat menjalankan syariat-syariat agama sesuai dengan yang telah diajarkan kepadanya. Dengan patuh, ia akan menjalankan apa-apa yang Pak Takdir suruh tentang bagaimana cara mempraktekkan syariat beragama di dalam kehidupan sehari-hari secara – menurut versi Pak Takdir – benar. Tak pernah sekalipun Pram mempertanyakan perintah-perintah dan larangan-larangan yang telah didogmakan kepadanya, dan itu membuat Pak Takdir merasa lega.

Saat itu tampaknya segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan Pak Takdir.

Masa-masa itu kini hanya tinggal sepenggal kenangan. Meskipun secara keseluruhan tidak ada perubahan yang terlalu mencolok dalam kepribadian Pram, namun ada satu hal vital yang membedakan antara Pram yang dulu dengan yang sekarang: tak terlihat lagi rutinitas religius dalam kesehariannya. Pram telah memilih keyakinannya sendiri, yang mana tak dapat dipahami oleh Pak Takdir.

Tak bisa dipastikan sejak kapan perubahan itu mulai terjadi, tapi semua itu jelas tak lepas dari proses pengembaraan spiritual diri Pram pribadi secara bertahap yang semakin hari semakin haus akan jawaban.

Sejak beranjak dari bangku sekolah ke kuliah, minat baca Pram berkembang pesat. Dibantu buku-buku itu, Pram berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuatnya terombang-ambing dalam keraguan. Pram merasa bahwa sudah saatnya melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tuanya serta masyarakat di sekitarnya, dan mulai mencari sendiri jawaban-jawaban yang bisa memuaskan rasa keingintahuannya.

Pencarian jati diri itulah yang mengantarkannya ke gerbang ilmu filsafat, yang mana telah membuka sisi lain pemikiran Pram, membawanya kepada cakrawala yang lebih luas. Hal itu mengubah sudut pandang Pram dalam menyikapi berbagai aspek kehidupannya, terutama sisi religiusnya. Pram merasa bahwa selama ini ia bagaikan sebuah robot yang hanya mengikuti setiap instruksi yang diberikan kepadanya, tanpa adanya motivasi dari dalam dirinya sendiri.

Perubahan-perubahan itulah, yang menurut Pram adalah suatu hal yang wajar, dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang oleh Pak Takdir.

Bagiku Jalanku, Bagimu JalanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang