Genangan air di sepanjang jalan menuju desa Biru, tempat Ayahku dilahirkan menjadi kesukaan tersendiri. Rokku yang berwarna coklat hampir senada dengan warna genangan air di atas aspal berlobang itu.
Sesekali rok kuangkat, sesekali aku melepasnya, agar menyatu dengan air meski tak sepenuh hati. Lagu-lagu manja aku lantunkan seraya melihat kiri dan kanan, maklum saja suaraku tak semerdu penyanyi aslinya, ini libur yang menyenangkan.
Diam-diam, beberapa mata memperhatikanku, entah mata itu menatap atas kecantikanku sebagai gadis kota, ataukah sekadar ejekan atas ketidaksesuaian rokku yang menyatu dengan jalan, senada dengan genangan air dan sedikit norak digunakan pada musim hujan, dan di desa pula.
Ibu memandang wajahku dengan senyum khasnya, ia nampak bahagia karena berhasil membujukku ke sebuah desa terpencil, tanah kelahiran Ayah yang baru pertama kujejaki.
Mobil Ayahku tak bisa melewati jalan setapak yang hanya bisa dilewati sepeda motor itu, hingga kami harus berjalan kaki menuju rumah Nenek yang berada tepat di depan sawah. Sawah yang tiap tahunnya menghasilkan padi yang subur, saking suburnya hasil panen nenek itulah yang biasanya dikirim ke kota agar kami dapat menikmatinya.
Setelah berjalan kaki selama kurang lebih 10 menit, akhirnya kami tiba di rumah Nenek. Kakiku terhenti di depan pagar rumah yang terbuat dari kayu dengan cat warna biru kesukaan Nenek.
Aku berhenti bukan pangling menatap rumah Nenek yang sekelilingnya asri, pandanganku tertuju pada sosok yang dengan diam menatapku serius, mata kami saling beradu, mencoba bertanya tanpa suara dari diam kami yang kaku...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Langit
Teen Fiction"Kisah pilumu membuat aku bertahan, menunggu dalam ketidakpastian. Cintamu yang tulus untuk keluarga namun tak berbalas, awalnya ingin kubayar dengan satu cinta yang kubawa sampai mati. Kini, aku telah menikah, tetapi percayalah, aku mengharapkanmu...