Kali Kedua

24 3 0
                                    

Dalam kehidupan nyata, kita kadang sok tau sikap dan kepribadian orang lain, padahal baru kenal. Saat dekat barulah kita sadar dan kadang-kadang minta maaf karena salah menilai orang tersebut. Hemmm😊🌹

Setelah pertemuan dengan keluarga ayahnya, sore tadi, Windi sulit memejamkan mata. Bukan gelisah atau resah hanya saja bayangan Aldi terus mengganggu, beberapa kali lewat di depannya.

"Sialan, kenapa bayangannya lewat terus, yah?," sambil pegang dahi, Windi menggerakkan kedua bahunya "ih geli amat, memalukan, memangnya dia siapa."

Windi menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya, bersikap sombong agar bisa melupakan raut wajah Aldi. Itu strateginya.

"Windi, bangun, banguuunnnn!"

Suara Ibu lagi dan lagi menggema nakal di dekat telingaku, tidak hanya di kota, di desa Biru pun Ibu membangunkanku dengan cara yang sama.

"Aduhhh, Ibu kenapa sihhh? Windi masih mau tidur nih, jangan ganggu dulu."

Aku memelas, menarik kembali selimut yang ditarik oleh Ibu. Aku tutup wajahku rapat-rapat berharap cahaya dari pantulan sinar matahari yang menembus jendela kaca tak mencederai bola mataku yang konon bulat bewarna biru, kata banyak orang.

Ibu tidak menyerah, ia selalu menggunakan cara lain agar aku bangun pagi.

"Bangun Windi, bangun kamu, nda malu sama keluarga ayahmu, mereka sekarang duduk di teras sambil makan pisang goreng, kamu harus bangun!" Ibu menarik tanganku, kasarnya setengah menyeret karena badanku pun ikut terseret olehnya.

Aku membuka mata, selimut tak lagi menutupi wajahku akibat Ibu menarikku dari tempat tidur.

"Ibuuu, apa pentingnya aku bergabung dengan para orangtua di luar sana, aku bisa minum teh dan menikmati pisang goreng buatan Nenek selepas tidur, aku kurang tidur, Buuu.?"

Ibu melepas tangannya dari tanganku lalu mulai ceramah

"Windi, dengar yahhh, mau tinggal di kota atau di desa, kita harus tetap menjaga etika, kita liburan di desa Nenek sekaligus silaturahmi, saat keluarga berkumpul seperti ini, sebaiknya kita bergabung." Ibu masih ingin ceramah tetapi aku memotongnya.

"Ibuuu, kalaupun Windi harus bergabung dengan keluarga ayah di luar, Windi mau ngomong apa?, topik pembicaraannya pasti tentang sawah, ikan, keluarga yang merantau dan banyak lagi, Windi malas mendengar apa yang nda Windi pahami."

Aku duduk dengan malasnya, tanganku mencari-cari sesuatu hingga Ibu yang masih berdiri di samping ranjang kayu minimalis itu menyerahkan ikat ramput padaku.

Ibu sangat tahu apa yang aku cari. Ibu melanjutkan.

"Windi, terkadang untuk menghargai oranglain, kita harus berkorban dengan menjadi pendengar yang baik. Ibu tahu duniamu berbeda dengan kami tetapi sikapmu ini tidak Ibu benarkan. Kau duduk, diam, mendengar, dan sesekali tersenyum pun bisa jadi kebahagiaan bagi Nenek, kenapa? Sekali lagi silaturahmi sangat penting. Paham!" Ibu keluar kamar tanpa menoleh.

Aku tertegun sejenak, setiap kali Ibu marah, ia akan mengeluarkan kata-kata bijak dengan tegas hingga mengoyakkan seluruh tatanan ekosistem dalam jiwaku. Aku berdiri, merapikan tempat tidur lalu menuju kamar mandi di belakang rumah.

Setelah membersihkan wajah dengan air bor yang terasa asin itu, aku menuju teras. Mataku menoleh pada jam dinding, jarum pendek tepat pukul 09.00, wajar jika Ibu membangunkanku dengan ceramah tingkat dewa.

Ketika berdiri di depan pintu, beberapa mata mengarah padaku, mataku tak henti pula melihat mereka satu-persatu

"Hemmm, wajah berbeda, mungkin kerabat jauh Nenek." gumanku dalam hati.

"Nah, ini dia cucu saya." tiba-tiba Nenek menarik tangan kiriku dekat dengannya. Aku yang sempat kaget dibuatnya hanya bisa tersenyum tipis seraya memegang bahu Nenek dengan tangan kananku.

"Cantikkan, cucu saya?" Nenek mengusap pinggang belakangku, aku tersipu malu dibuatnya.

"Masih SMP atau SMA, Nak" suara parau namun besar itu jelas mengarah padaku, aku menoleh ke samping kiri mencari sang pemilik tanya.

"Kelas 2 SMA."jawabku singkat.

Mataku masih mencari pemilik tanya, tadi aku terlalu fokus pada Nenek sehingga terlambat menoleh ke arah kiri dan melihat siapa yang bertanya.

Seorang kakek tua, kurus tinggi dengan kulit putih menggunakan  peci hitam menatapku dengan tajam, aku menemukannya.

"Kalau dulu, badan sebesar kamu sudah nda sekolah, anak-anak sekarang cepat tumbuhnya, cepat juga terlihat dewasa."tandasnya

"Maksud kakek, wajah saya terlihat tua?"spontan aku bertanya balik, Nenek mencubit pantatku.

Aku menutup mulut erat-erat berharap tak ada lagi kata-kata yang keluar, aku terlalu kurang ajar.

"Hahaha, dewasa yang kakek maksud itu bukan berwajah tua, tetapi kalau kamu merasa yah nda apa-apa juga sihh." sontak kakek itu tertawa, menyusul yang lain, tak ketinggalan Nenek juga menertawaiku.

Aku hanya terdiam, agak kesal tetapi bersyukur, mereka mungkin saja menyukaiku.

Tanganku meraih cangkir berisi teh, aku menikmatinya dengan pisang goreng.

Bayangan Aldi berada tepat di depanku, aku berhenti mengunyah, menatap lurus ke depan, berusaha mengedipkan mata agar lebih jelas lagi.

"Ah, ini bukan bayangan, dia nyata."gumanku lagi.

Aldi lewat di depanku dengan posisi menunduk dan membungkuk, begitu sopannya ia melewati beberapa orangtua yang duduk di kursi, ia menuju ke arah kakek tua yang membuat orang menertawaiku tadi.

"Kakek sudah selesai?" tanyanya pada kakek tua itu, ia pegang kedua tangannya, hendak memapah.

Kakek tua tak menjawab pertanyaan Aldi, ia justru pamit pada Nenek.

"Sri, saya pulang dulu yah, lain kali saya ke sini lagi." ia pamit pada Nenekku yang bernama lengkap Sri Maimuna.

Sambil dipapah oleh Aldi, kakek tua itu berhenti lagi, tepat di depanku.

"Kapan-kapan, kakek perkenalkan kamu sama cucu kakek, dia sekarang kuliah S-2 di Korea Selatan."ucapnya padaku dengan bangga.

"Ohh ehhh iya, kek." aku menjawab terbata-bata bukan bangga dengan cucunya yang kuliah di Korea, aku keselek, pisang goreng tersangkut di tenggorokanku akibat kaget melihat Aldi yang datang tiba-tiba, meninggalkan sepatah kata lalu pergi bersama kakek tua itu.

Mungkin itu kakeknya Aldi, jika benar, wajar perawakan mereka hampir sama, terkesan cuek dan sombong. Cuek karena pelit kata-kata, sombong karena lebih banyak diam.

Aku meneguk teh manis buatan Nenek, menatap punggung Aldi dari kejauhan, penasaran, mengapa kakek tua itu tidak perkenalkan Aldi padaku, justru cucunya yang kuliah di Korea yang ia ingin perkenalkan padaku, anehhhh. Aku terus memperhatikan Aldi hingga punggungnya menghilang pada tikungan jalan di ujung desa.

Kerabat jauh Nenek, satu persatu meninggalkan tempat duduknya, mereka pamit, pulang.  Begitu besar pengaruh Nenek hingga mereka rela meninggalkan pekerjaan rutin di pagi hari hanya untuk datang, mengobrol hingga jam menunjukkan pukul 10 pagi.

Aku menatap wajah Nenek, senyum manisnya adalah sisa-sisa pesonanya semasa muda, wajah cantiknya masih kentara diantara lapisan keriput beriput yang bersusun bak koran berlapis lima. Nenek memang terkenal dengan julukan Sri si "Macan Betina dari Desa Biru".

Aku memeluk Nenek, rasa haru menghampiriku seketika, harusnya rasa bersyukur ini selalu hadir, namun apa daya jiwaku tak seimbang, masih suka bolak-balik dari baik ke buruk begitupun sebaliknya.

Bersambung yaaa

🌼🏵🌺💮🌼🌺💮🏵🌸💮🏵🌺

Tinggalkan pesan di kolom komentar yah, mohon sarannya bagi ibu-ibu yang berusaha mengingat masa muda ini😀😁

Pernikahan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang