Flashback

102 8 7
                                    

Tiiing!

Bunyi lift terbuka. Aku melangkahkan kaki berjalan keluar dari sebuah gedung tinggi yang menjadi tempatku menghabiskan banyak waktu di setiap harinya, menuju di mana mobilku di parkir.

Sudah saatnya pulang ke rumah, sebelum langit berubah menjadi gelap dan angin semakin berembus dengan sejuknya.

Sudah bertahun-tahun yang lalu aku menduduki jabatan tertinggi di perusahaan ini. Menjabat sebagai pemilik perusahaan Adiya Group. Perusahaan milik mendiang papahku yang ia bangun dari nol dengan jerih payahnya. Hingga akhirnya beliau menyerahkan ini padaku. Tanpa kata.

Maksudnya, papah memberikan perusahaan ini tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia menyerahkannya karena meninggal dunia yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya.

Sebelas tahun yang lalu ...

Semasa akhir hidupnya, ia mempercayakan perusahaan ini kepada asistennya, pak Rizal, untuk menjalankan pekerjaannya.

Di setiap akhir pekan, pak Rizal akan datang ke rumah untuk melaporkan hasil kerja perusahaan. Hingga akhirnya papah masuk rumah sakit dan dinyatakan meninggal dunia.

Sepuluh hari setelah kematian papah, aku sekeluarga yang masih dalam keadaan berkabung, menerima sebuah surat wasiat. Dan surat itu dibacakan oleh seorang notaris yang papah percayakan. Disaksikan oleh seorang pengacara perusahaan dan tentu saja pak Rizal sebagai asisten papah semasa beliau hidup.

Aku, mamah beserta kedua adikku, Haikal dan Tika, berkumpul di ruang kerja papah di rumah ini. Bersama-sama untuk mendengarkan isi surat wasiat itu. Berkali-kali mamah menjatuhkan air matanya lalu menghapusnya kembali dengan kasar. Membuat aku mengerti akan rasa sakitnya kehilangan seorang pelindung keluarga.

Sang notaris mulai membacakan isi surat wasiat itu. Yang mana isinya adalah pengalihan seluruh harta kekayaan papah. Beberapa rumah, asset serta perusahaan Adiya Grup jatuh ke tanganku, sebagai anak sulungnya. Dan aku berkewajiban untuk melindungi mamah serta kedua adikku setelah itu.

Mengapa aku sebutkan hanya beberapa?

Karena sebagiannya lagi telah papah limpahkan untuk asistennya, pak Rizal. Beliau menerima sebuah rumah di daerah sederhana yang cukup asri. Cocok untuk beliau bersama keluarganya menikmati hari tua. Beliau pantas mendapatkan itu.

Pak Rizal sudah sejak lama menjadi asisten papah. Beliau tahu betul bagaimana pola pikir papah dalam menjalankan perusahaan. Bahkan aku pun sudah menganggap pak Rizal seperti ayah angkatku sendiri. Beliau hanya memiliki satu orang anak perempuan, namanya Lalisa Florencia.

Sejak kecil, Lisa sudah sering dibawa ke rumah untuk bermain bersama adik bungsuku, Tika. Dan sejak itu pula, aku menganggap Lisa sudah seperti adikku juga.

Papah juga sangat menyayangi Tika. Dari kecil hingga Tika memasuki awal masa Sekolah Menengah Atas, papah tidak pernah absen untuk menjahilinya bangun tidur di pagi hari, di saat weekend. Bahkan jika papah pulang kerja dari perusahaannya larut malam, ia selalu membangunkan Tika.

Coba tebak untuk apa?
Papah membangunkannya hanya untuk minta temani makan di depan komplek perumahan. Sebab di sana terdapat banyak sekali para pedagang makanan. Dan Tika selalu mau, bahkan berlonjak kegirangan.

Berbeda dengan Haikal. Dia adalah adik lelakiku yang terlalu kalem. Bukan, mungkin bukan kalem, tapi lebih tepatnya introvert. Sebab dia tidak akan berbicara jika tidak penting dan itu sudah terlihat sejak ia kecil hingga masa pertengahan Sekolah Menengah Atas.

Dulu saat kecil mamah sempat mengira jika adik lelakiku itu mengidap penyakit Autis. Gangguan perkembangan serius yang mengganggu kemampuan berkomunikasi dan berinteraksinya. Gangguan yang dapat memengaruhi sistem saraf manusia, oleh karena itu papah panik.

Mr. MaxweliamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang