"Tugasku sudah selesai untuk kedua adikku. Mereka sudah menikah dan memiliki keluarga kecilnya sendiri. Dan rasanya, aku mengabaikan kewajibanku sebagai suami beberapa tahun kebersamaan kita." Aku kembali memandangi wajah cantiknya yang dari dulu hingga saat ini selalu membuatku terpana.
"Tugas kamu untuk mereka dan untuk mamah nggak akan pernah selesai. Dan itu sudah menjadi kewajiban kamu hingga akhir hayat. Kamu harus ingat itu," ucapnya tegas, "dan selama ini aku merasa terpenuhi dengan hakku menjadi seorang istri. Kamu nggak perlu cemas."
Aku kembali tersenyum lalu perlahan memajukan wajah, mengecup bibi ranumnya yang masih terlihat dengan pencahayaan minim seperti saat ini. Dia menikmati pagutan itu, bahkan kini jemarinya menyelip ke sela-sela rambut belakangku. Cukup lama semua itu terjadi, santai dan saling bertaut, hingga akhirnya kami melepaskan dan melekatkan kening. Napasku tersengal, begitu pun dengan napasnya.
"Terima kasih untuk semua yang kamu berikan selama ini. Aku janji, aku akan lebih memerhatikan kamu untuk ke depannya." Kemudian aku mengecup keningnya.
"Jangan. Tetap prioritaskan mamah kamu, dia yang melahirkan serta mendidik kamu hingga menjadi seperti sekarang. Hingga aku dapat memiliki kamu seperti saat ini, tapi bukan berarti mamah harus dilupakan," tegasnya sekali lagi padaku.
Dengan sebuah senyuman aku terus mengecup keningnya itu lalu memeluk erat tubuhnya. Aku tidak akan melepaskannya sampai kapan pun. Aku akan terus menjaganya.
Waktu terus bergulir. Setiap menit selalu berputar, terlewati dengan berbagai macam perbincangan hangat. Benar dengan apa yang sudah Shilla katakan, aku merindukan moment seperti ini, karena saat ini puteri pertama kami, Michelle, selalu tidur di antara kami berdua. Sedangkan puteri kedua kami masih tidur di dalam ranjangnya.
Keadaan seperti inilah yang membuat aku dan Shilla jarang berkomunikasi seperti dulu, sebab kami takut akan membangunkan mereka jika selalu asik berbincang sebelum tidur. Tetapi nyatanya, tidak pernah aku bayangkan sebelumnya jika kami bisa melakukan aktivitas ini kembali di luar kamar tidur.
"Iya, aku ngerti. Kamu tetap seperti ini, jangan berubah dan terus bersamaku hingga kita bisa menimang cucu dari anak-anak kita. Temani aku hingga kita terpisah karena umur, bukan karena dunia," lirihku penuh dengan nada memohon kepadanya.
"Pasti. Jangan pernah kamu meragu, karena aku nggak akan pergi ninggalin kamu." Shilla kembali mengumbar senyumannya lalu menangkupkan kedua tangan pada sisi pipiku dan mengecup bibir ini begitu mesra. Kami terbuai tanpa sepatah kata lagi, semua rasa kami lepaskan, rindu menggelora, hasrat tertahan. Benar-benar lepas tanpa jeda, membuat semilir angin malam berubah menjadi hawa panas di sekitar kami.
Tidak ada satu pun yang menolak bahkan untuk beranjak masuk ke dalam rumah. Kami berdua benar-benar melakukannya dengan suasana yang tidak biasa. Melepaskan satu per satu penutup diri secara sadar dan saling menikmati setiap gerakan hingga mencapai titik kepuasan duniawi.
Aku terus menyesap setiap inci tubuhnya, setiap lekuk elok tubuhnya. Tak ayal beberapa lenguhan sempat Shilla lepaskan, tanda dia menikmati semuanya. Menikmati hasrat yang membelenggu kami berdua malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Maxweliam
RomanceCinta tak melulu soal pasangan. Tak hanya ada di antara sepasang insan manusia. Memadu kasih, memperlakukan lawan jenis bak ratu dan raja. Berani memberikan segalanya hanya untuk membuktikan rasa cinta. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan law...