Awal Mula

22 6 0
                                    

Sebagai anak lelaki tertua, aku memiliki sebuah tanggung jawab yang besar untuk keluarga. Bukan hanya untuk keluarga kecilku, tetapi juga untuk orang tua serta saudara kandungku. Dan itu adalah kewajibanku. Tidak peduli bagaimana reaksi istriku, dia harus mengetahui kewajibanku yang satu ini dan dia tidak boleh melarangku untuk melakukan itu. Bahkan untuk melindungi keselamatan mereka sekalipun.

Untuk semua hal itu, aku memang sudah sepakat dengannya dan dia pun mendukungku. Dia sangat mengerti dengan semua tugasku sebagai seorang suami baginya dan sebagai seorang ayah bagi kedua anak kami, maupun sebagai anak tertua serta pengganti posisi ayah dalam keluarga. Istriku memahami semua itu.

Sudah lima tahun lebih aku menikah dengan Shilla. Dia selalu ada dan selalu mendampingi bahkan saat keluargaku diterpa berbagai macam masalah. Bahkan dengan kebesaran hatinya, dia menerima masa laluku walaupun sebelumnya penuh drama dan juga penuh perdebatan. Untungnya semua orang di sekeliling selalu mendukung hubungan kami, hingga tidak membuat hatinya goyah kepadaku. Dia begitu istimewa di hatiku.

Cup!

Seseorang mengecup pipiku begitu mesra dengan kedua tangannya yang tiba-tiba melingkari pundak serta leherku dari belakang. Sudut bibirku tertarik kencang tak tertahankan, aku tahu ini pasti Shilla, istriku. Aroma wangi dari tubuhnya seketika merasuk ke dalam hidung, membuatku semakin merasa tenang sambil memejamkan kedua mata, menikmati kasih sayangnya.

"Kenapa tiba-tiba menghilang dariku?" tanyanya setelah melepaskan bibirnya dari pipi ini.

Aku terkekeh pelan lalu menoleh padanya. Memandangi wajahnya di balik temaram lampu taman yang menyala begitu terang. Dia tersenyum lalu melepaskan tangannya dan memutari sofa, duduk di atas pangkuanku.

Mata kami kembali saling beradu dan dia kembali melingkarkan kedua tangannya dan membelai lembut tengkuk leherku. "Tiba-tiba tadi aku terbangun trus aku nggak bisa tidur lagi," ucapku pelan.

"Sudah lama kita nggak berdua," lirihnya terus menatapku.

"Bukankah kita selalu berdua? Mana pernah kita berpisah?"

Shilla terkekeh lalu menyahutiku, "Bukan begitu, maksudku sudah lama kita nggak begini. Dalam suasana tenang dan saling ...." Shilla menghentikan ucapannya lalu melipat kedua bibirnya,  membuatku sontak berpikir nakal.

"Kalau kamu mau, setiap malam setelah anak-anak tertidur, kita bisa duduk di sini. Sambil memandangi bulan dan berbincang tentang hari esok." Aku berusaha kembali berpikir jernih.

"Lalu?" Dia semakin menempelkan tubuhnya dan menatapku intens. Membuat pikiranku kembali buyar dan menjadi liar.

"Atau kita gunakan kamar Michelle untuk melewati sepertiga malam. Tapi jika mau mencoba hal lain, kita bisa melakukannya di atas meja makan atau di sofa? Atau apa mau di sini?" Aku bersemangat untuk menggodanya.

Plak!!

Shilla menepuk bahuku pelan hingga membuatku sontak tertawa terbahak-bahak, tetapi dengan sigap pula telapak tangannya menutup mulutku. Membuatku sadar jika saat ini sudah tengah malam dan kedua anak kami sedang tertidur lelap.

Aku dan Shilla memang jarang memiliki waktu intens seperti ini. Apalagi semenjak adik-adikku memiliki rumah tangganya masing-masing. Belum lagi pekerjaan di perusahaan yang menguras banyak waktu. Siapa bilang begitu menjadi pemilik perusahaan bisa bebas seenaknya, seperti bekerja dari rumah? Bagiku menjadi seorang pemimpin sekaligus pemilik bukan berarti bisa sembarangan.

Malah seharusnya, jika menjadi seorang pimpinan artinya juga harus bisa menjadi contoh untuk para karyawannya. Dengan begitu, orang lain bisa menilai bagaimana sepak terjang sebuah perusahaan. Itu yang selalu menjadi tolak ukurku dalam bersikap. Sederhana tetapi sangat penting untuk melatih mental diri.

Mr. MaxweliamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang