DUA (KHITBAH)

517 33 12
                                    

Assalamualaikum Readers,

Salam sehat dan semangat berkarya untuk kita semua

Bagi yang berpuasa, semoga selalu dalam keadaan sehat ya!

Berpikiran positif dan selalu jaga kesehatan!

Tetap semangat dan SUKSES, SUKSES, SUKSES untuk hal yang sedang kalian senangi!
...

Pulang meniadakan kata pergi,
menghapus sendu,
memberi arti menanti.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabaraktuh," ujar kak Adnan mengetok pintu.

"Wa'alaikumus salamwa rahmatullahi wabarakatuh," ujar umi membuka pintu.

Kami bersalaman dengan umi dan kemudian abi turut bergabung.

"Ayo makan, malam ini Umi membuat banyak masakan," ujar umi memimpin jalan ke ruang makan.

Selanjutnya kami makan dalam diam. Selesai makan, mbok Marni membantu membereskan meja makan, sementara kami menuju ruang keluarga.

"Terimakasih ya. Abi senang, akhirnya Alishba sudah kalian antar pulang,"

"Iya, Umi juga sangat senang,"

"Iya Abi," ujar kak Adnan.

"Ini berarti Alishba sudah menerima pernikahannya itukan?" tanya umi antusias.

Benar saja bukan, umi senang aku pulang karena ingin segera mungkin menikahkanku.

"Kenapa semua diam?" tanya umi nampak kecewa.

"Umi, soal pernikahan nanti saja dibicarakan lagi. Biarkan Alishba istirahat dulu," ujar abi.

"Nanti kapan Abi? Alishba sudah semakin dewasa, Umi cuma gak ingin orang di luar sana berpikiran semakin buruk tentang Alishba dengan status jandanya," ujar umi.

"Umi, kebuktikan? Umi malu punya anak seperti aku?!" kesalku.

"Alishba,"

"Kenapa Abi? Apa yang salah dari ucapan Alishba. Abi dengar sendiri, kalau Umi ingin aku cepat menikah bukan karena ingin aku bahagia ataupun supaya aku terlindungi dari zina. Tapi, karena Umi tidak tahan dengan ucapan orang di luar sana!"

"Istighfar Alishba," ujar mbak Resya mengusap punggungku.

"Apanya yang bersabar. Kenapa Abi tidak menegur Umi? Aku diperlakukan tidak adil di rumah ini. Kalian cuma menuntutku saja. Umi hanya mendengarkan cemooh orang di luar sana, sementara aku sendiri yang menjalaninya Umi. Cemooh orang di luar sana tidak sebanding dengan trauma yang aku rasakan dengan pernikahanku dulu!" ujarku kemudian berlari memasuki kamar.

Aku benar-benar tidak bisa menahan emosiku. Aku minum segelas air putih, lalu mencoba berbaring di kasurku, namun emosiku seakan masih tidak bisa tertahankan. Aku segera berwudhu ke kamar mandi. Beristighfar sebanyak mungkin yang aku bisa, sampai air mata ini benar-benar berhenti dengan sendirinya. Aku membuka lemari dan mengambil daster ibu yang masih aku simpan. Aku mengganti pakaianku dan kemudian terlelap.

***

Mentari kembali bersinar. Alhamdulillah! Terimakasih untuk nafas di pagi ini Ya Allah. Aku bersujud padaNYA di pagi ini. Aku mengangkat tanganku dan kemudian berdoa, dan aku tidak tau entah sejak kapan air mata ini lagi-lagi turun. Umi menginginkanku segera menikah hanya karena tidak tahan dengan omongan tetangga. Bukan karena ingin aku terhindar dari zina. Aku benar-benar kecewa dengan sikap yang ditujukan umi. Lalu, abi dan mas kenapa tidak sedikitpun mengerti perasaanku. Apa memang hanya ibu mengerti perasaan putri kandungnya. Engkau Maha Benar Ya Allah, ibu, ibu, dan ibu. Aku pincang tanpa bantuan ibu. Ibu, Alishba sangat butuh ibu.

ALISHBA (Hijrah dengan Khitbah Seorang Mualaf)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang