1

79 5 3
                                    


Lagi-lagi tetangga baruku membawa seorang wanita ke rumahnya, dan selalu wanita yang berbeda setiap kalinya―—aku tahu itu karena beberapa kali tanpa sengaja berpapasan dengan pria itu dan wanitanya pada larut malam di gang rumah kami. Mungkin perihal tentang pria itu telah menjadi rahasia umum di perumahan tempat kami tinggal. Tapi aku merasa heran karena sampai detik ini Pak RT belum juga melabrak pria itu―—pria bernama Jarez yang mengontrak tepat di sebelah kanan rumahku ini.

Aku benci Jarez. Aku benci Pak RT. Aku benci karena setiap malam harus menulikan pendengaranku dari desahan-desahan dan erangan si pria sialan itu dan para wanitanya. Apa pria itu tidak tahu bahwa dinding yang membatasi rumahnya dan rumahku itu sangat tipis? Hanya selapis batako! Mungkin ia tahu, tapi tidak peduli ataupun ambil pusing!

Rumah mungilku terdiri dari ruang tamu yang merangkap menjadi ruang tv, kamar mandi, dapur, dan dua kamar tidur——satu menjadi kamar tidurku dan satu lagi kujadikan kamar tidur tamu. Karena rumahku sangat mungil dan dinding pemisah antara rumahku dan rumah Jarez hanya selapis batako, suara-suara erotis itu sangat jelas terdengar di kamar tidurku, di kamar tidur tamu, dan samar-samar mencapai ruang tamuku.

Berengsek! Sialan!

Malam ini aku memasang senjata baruku, headset. Malam-malam sebelumnya―—selama hampir satu bulan sejak kepindahan Jarez―—biasanya aku menyetel televisi atau tape dengan volum maksimal agar suara-suara erotis mereka teredam. Namun hasilnya, beberapa kali Pak RT mendatangiku untuk menegur karena keluhan dari beberapa warga―—Bu Chika tetangga sebelah kiri rumahku, pasangan lanjut usia di seberang rumahku, keluarga Pak Amri yang baru saja memiliki bayi di seberang rumah Bu Chika, dan pasangan pengantin baru yang baru pindah di seberang rumah Jarez―—yang merasa terganggu atas ulahku.

Aku ingin balik mengeluh dan mengadu pada Pak RT mengenai sikap tak bermoral tetangga sebelah kanan rumahku itu, tapi sayangnya aku belum mempunyai nyali yang cukup.

Kini headset sudah kupasang, namun suara-suara erangan, desahan, dan teriakan itu masih bisa menyapa gendang telingaku. Dengan amarah yang sudah menggerogotiku, aku menjerit sekuat-kuatnya.

Lalu hening, yang terdengar hanya alunan musik heavy metal yang mengentak-entak di  telinga dan suara napasku yang terengah-engah. Kupikir semua sudah berakhir, tapi ternyata aku salah. Suara-suara itu malah semakin menjadi.

Kubanting headset ke lantai. Sudah cukup! Lama-lama aku bisa gila! Akhirnya dengan keberanian yang timbul karena rasa marah, kudatangi rumah kontrakan Jarez yang bergaya minimalis. Setelah lima ketukan yang rasanya seabad, pria itu baru membuka pintu rumahnyayang dicat abu-abu muda.

Saat melihat wajah tampan namun liar pria itu, rambut acak-acakan yang membingkai garis wajahnya yang tegas dan terpahat sempurna, tubuh bagian atasnya yang hanya mengenakan kemeja putih yang seluruhnya tidak terkancing, dan celana boxer hitam, kemarahanku langsung menguap, lalu dengan cepat digantikan oleh rasa malu yang luar biasa.

Aku wanita single dan belum pernah berpacaran seumur hidupku. Dulu saat masih tinggal dengan keluargaku di desa, aku terbiasa melihat ayah, adik, dan kakak lelakiku hanya mengenakan sehelai handuk atau celana mereka. Tapi pria yang tengah menatapku dengan malas ini jelas-jelas bukan keluargaku, dan aku tidak siap!

Buru-buru kupalingkan wajah ke arah lain, ke mana saja, asal tidak ke arah pria itu.

“Ada apa larut malam bertamu, tetangga sebelah…?”

Sialan, kenapa suara seraknya terdengar seksi dan menggoda di telingaku, ya? Atau itu hanya perasaanku saja? Tapi, sialan, memangnya dia tidak tahu namaku? Menyebalkan rasanya jika aku mengetahui nama seseorang tapi orang tersebut tidak mengetahui namaku! Hei, kita sudah bertetangga selama hampir satu bulan, Mr. Jarez! Ih, Chocolate, apa-apaan, sih? Kenapa malah memusingkan hal yang tidak penting, sih? Ingat tujuanmu ke sini!

Saat ini aku ingin segera kembali ke kasur hangatku, tapi itu bisa menunggu. Omong-omong, kenapa pria ini tidak berusaha untuk menutupi tubuhnya sih? Memangnya dia tidak malu? Ah, aku lupa, mana mungkin pria seperti dia punya rasa malu kan? “Bisakah kau berhenti untuk… berisik?” Aku berusaha untuk mencari kata yang sopan, jauh dari kesan vulgar, dan hanya kata berisik yang terpikirkan saat ini.

“Berisik?” tanyanya dengan nada yang seolah bingung.

Aku menelan ludah sebelum berkata, “Itu… suaramu dan suara wanitamu… berisik.”

Ia hanya menjawab oh. Apa maksud oh itu? Saking kesalnya, aku menoleh kembali pada pria itu dan kutatap tajam matanya. Kesalahan besar, fatal!

Dari dekat, pria ini sungguh sangat tampan dan memesona! Matanya yang terlihat berkilat indah dengan warna cokelat yang tidak biasa dan hidungnya yang lurus mancung, serta tubuh tegapnya yang menjulang tinggi―—di samping namanya yang terdengar asing―—mempertegas bahwa ia bukanlah pria bumi pertiwi. Mungkin blasteran atau bule?

Aku juga dapat merasakan aura liar dan berbahaya, serta feromon memabukkan yang terkuar dari tubuh six packs berwarna cokelat tembaganya yang serta-merta membuatku merinding.

“Kau… yang berteriak tadi?” tanya Jarez dengan ekspresi tak terbaca.

Wajahku langsung memanas dan kurasa saat ini warnanya sama dengan warna piama merah yang tengah kukenakan. Aku tidak harus menjawab pertanyaannya kan?

Di bawah naungan alis tebalnya yang melengkung indah, mata pria itu tiba-tiba menatapku dengan tajam dan raut wajahnya berubah serius. Namun ia masih berdiri dengan posisinya semula; bersandar ke kusen pintu dengan santai. “Apa kau mau bergabung dengan kami?” tanyanya tanpa beban, seolah ia hanya bertanya apakah aku sudah makan atau belum.

🌲🌲🌲

PDF READY
PROMO 39.000

WA 0822 1377 8824 (PUTRI)
SENIN, 9 DESEMBER 2019, 14.10

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 07, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CHOCOLATE IS MINEWhere stories live. Discover now