Rumah Sakit

4 2 0
                                    

Ponselku bergetar berkali-kali, ada banyak penggilan tak terjawab karena aku sedang mengikuti perkuliahan, semakin lama, ponselku terus bergetar, perasaanku mulai tidak enak.

"Permisi bu, apa boleh saya izin ke toilet?" Ku acungkan tangan memberanikan diri.

"Ya silahkan, setelah selesai, segera kembali, karena saya akan menjelaskan materi yang sangat penting"

"Baik bu, permisi"

Tak berlama-lama, ku ambil ponselku kemudian berlari ke toilet, benar saja, 25 panggilan tidak terjawab, itu semua dari Om dan Tante-ku.

"Hallo, Om." ku coba untuk meneleponnya balik.

"Ra! Kenapa baru menghubungi om?"

"Maaf Om, Rara lagi kuliah, ini saja Rara izin ke toilet, ada apa ya, Om?"

"Nanti pulang kuliah, kamu tidak usah dijemput ya, pulang sendiri bisa? Kakek tidak bisa jemput, sekarang sedang dirumah sakit, nanti malam akan operasi." Ucap Om.

"O.. operasi om? Tapi bagaimana keadaanya? Tidak apa apa aku bisa pulang sendiri."

"Iya sudah, lanjutkan kuliahmu dulu, Ra. Nanti setelah selesai kabari om"

Aku kembali keruangan, perasaanku masih saja tidak karuan, aku khawatir, ingin rasanya perkuliahan ini selesai saat itu juga. Aku tidak mempedulikan materi yang sedang dijelaskan, fokusku buyar begitu saja.

"Kak Ikhsan. Bisa temani aku kerumah sakit :'("

Aku mencoba menghubungi Kak Ikhsan, mengirim pesan, berharap ia bisa membacanya saat itu juga. Namun, harapan hanya tinggal harapan, Kak Ikhsan tidak membalas pesanku, hingga perkuliahan selesaipun tak ada balasan darinya.

Waktu menunjukkan pukul 17.30 WIB. Bukan hanya Kak Ikhsan, tapi Om-ku juga tetap tidak bisa aku hubungi. Satu persatu teman-temanku meninggalkan kelas.

"Ra. Ayo balik!" Ajak Adel.

"Lu duluan deh del, gue mau disini dulu sebentar"

"Kak Ikhsan bakalan jemput lu kesini?" Tanyanya.

"Bagaimana bisa, tidak bisa dihubungi." Jawabku kebingungan.

"Terus lu balik gimana? Umum? Kalau gue balik duluan gak apa apa, Ra?"

"Gak apa, Del. Lu balik aja, udah mau malem"

Akhirnya Adel pun pergi. Kelas sudah mulai sepi, hanya ada aku dan 3 orang teman lainnya yang masih tinggal. Aku masih kebingungan. Kemudian dibalik saku celana, ponselku bergetar.

"Hallo, Ra! Kamu dimana sayang?" Tanya Kak Ikhsan panik.

"Iya, Kak. Aku masih di kelas."

"Jangan kemana-mana, aku kesana."

Tidak lama setelah telepon ditutup, Kak Ikhsan sampai dan menemuiku.

"Kenapa kamu? Sakit? Kok harus kerumah sakit?" Tanya kak Ikhsan benar-benar panik, dipegangnya dahiku untuk memastikan suhu badan.

"Aku gak apa, Kak. Kakek-ku baru saja masuk ke rumah sakit dan malam ini beliau dijadwalkan operasi. Aku khawatir, Kak. Apa Kakak bisa ikut aku ke rumah sakit?" Mataku mulai berkaca.

"Kakek, Ra?! Inalillahi. Aku bisa ikut kamu, tapi setelah maghrib, tidak apa? Karena aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu di Lab."

"Tak apa, Kak"

"Ya, sudah. Senyum ya, ikut aku ke Lab sekarang"

Ku bereskan alat tulis, digandengnya tanganku tatkala berjalan menuju ruang lab. Semua orang memperhatikan, aku mulai merasa malu, tapi tak ingin ku lepas genggamannya. Lagi, jantungku berdetak hebat karena sikapnya.

Aku hanya duduk manis di ruang lab, sesekali aku perhatikan Kak Ikhsan yang sedang serius menyelesaikan pekerjaannya. aku mengabadikan dia diam-diam dalam ponselku. Kak Ikhsan melihat, kemudian tersenyum. Memang, ia tak memiliki paras yang tampan bak pangeran, tapi, ia memiliki senyum yang bisa membuat candu dan bisa menyembuhkan rindu.

"Kak, masih lama?"

"Sebentar, ya sayang. Oiya, aku ke Dean dulu di sekre ya. Sebentar"

Ya, itulah Kak Ikhsan yang sesungguhnya, sibuk. Selain kegiatannya berorganisasi dan yang utama kuliah, ia juga menjadi asisten dosen dijurusannya, itu kenapa ia lebih banyak menghabiskan waktu di lab.

"Yuk, Sayang! Kerumah sakit" ajaknya.

"Memang pekerjaannya sudah selesai?" Tanyaku.

"Aku minta Dean untuk meng-handle pekerjaanku selama aku pergi sama kamu. Setelah operasi kakek kamu selesai, aku balik lagi ke kampus, bolehkan kalau begitu?"

Aku hanya mengangguk. Lagi, ia mengajakku berjalan sembari menggandeng tanganku. Malam semakin larut, kami sampai dirumah sakit. Dilihat keluargaku sedang cemas menunggu kakek yang sedang berada di ruangan operasi. Tak banyak bicara, Aku pun ikut berdoa.

Satu setengah jam menunggu, salah satu perawat keluar dari ruang operasi, menghampiri kami keluarga kakek, dikatakannya operasi kakek berjalan dengan lancar, keadaannya baik-baik saja dan cukup stabil, kami keluarga mulai bisa bernafas lega, tak lupa juga bersyukur.

Beberapa waktu setelah itu, Kakek keluar dari ruang operasi, hendak dipindahkan keruang rawat. Kakek masih tak sadarkan diri. Perawat memberikan sebuah toples kepada keluargaku yang berisikan batu yang ada diginjal kakek. Semua keluarga kaget, karena ternyata selama ini batu ginjal kakek cukup besar.

Beberapa dari kami mulai menangis, karena kesibukan pribadi hingga lupa akan kesehatan kakek. Akupun menangis. Kak Ikhsan tampak kebingungan sekaligus merasa iba, tapi ia tak bisa berbuat apa apa, selain menyapu air mata yang bercucuran dipipiku dan menenangkanku.

"Kamu yang tabah ya, Ra!" Ucap Kak Ikhsan menenangkan.

Melewati itu semua, akhirnya kami sudah mulai tenang, beberapa dari keluargaku berpamitan untuk pulang, begitupun dengan Kak Ikhsan. Di rumah sakit. Sekarang hanya ada aku, ayah dan kakek fatah.

"Kamu ndak pulang saja, Ra?" Tanya Kek Fatah.

"Engga kek, Rara disini saja nemenin kakek"

Malam semakin larut, suasana di Kota Lembang semakin dingin hingga kurasa dinginnya mampu menyentuh tulang-tulangku. Ayah dan Kek Fatah, berjaga di luar ruangan, sementara aku di dalam untuk menunggu kakek yang belum kunjung sadar, juga agar tidak terlalu kedinginan. Mataku mulai mengantuk, tak lama, aku tertidur.

"Ra! Ra! Bangun!" Seseorang membangunkanku.

Aku menggeliat, perlahan memulihkan pandanganku yang masih kabur.

"Jam berapa ini?" Tanyaku yang belum sepenuhnya sadar.

"Jam 1 malam, Ra. Aku khawatir sama kamu. Kamu pasti belum makan dari sepulang kuliah tadi, jadi aku sengaja kesini bawain kamu makanan."

"Tapi aku gak laper, Kak. Aku ingin tidur"

"Hey, aku gak mau kamu sakit, Ra! Sudah ya. Kamu makan dulu, aku suapin. Setelah makan kamu boleh tidur lagi."

"Setelah aku makan, Kak Ikhsan akan pulang?"

"Tidak, aku temani kamu disini ya. Sudah makan dulu sekarang"

Akhirnya Kak Ikhsan menyuapiku makanan yang dibawanya. Sikapnya begitu manis, membuatku selalu luluh.

Tadinya ku pikir, aku sedang bermimpi, tapi ternyata ini sungguhan.
Tadinya ku kira juga, gemintang hanya akan indah bila ia di langit, tapi ternyata ia juga bisa berpendar di hati, yang kemudian menjelma menjadi sosok Kak Ikhsan, yang kini dihadapanku. INDAH!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bait Penuh RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang