Cuilan Kisah Dari Masa Depan

4.3K 545 150
                                    

Ketika orang lain sibuk berkutat dengan kemacetan di Kota Jakarta ini, gue sudah duduk manis di ranjang. Lebih tepatnya, gue sibuk memastikan sesuatu.

Pukul 06.06 malam, jari gue menari di layar ponsel. Gue sedang meluangkan waktu berbicara via dunia maya dengan seseorang yang sikapnya terus mengganggu pikiran belakangan ini. Daripada terus overthinking dengan asumsi tanpa akhir,  lebih baik gue tanya langsung ke orangnya.

Sheila
Kamu kenapa sih?

Juna
Nggak apa-apa.
Kenapa memang?

Sheila
Ngerasa kamu
agak berubah aja.

Juna
Memang apa yang
kamu rasakan?

Sheila
Cuek. Datar. Kamu kenapa sih?
Aku ada salah? Bilang aja biar jelas.
Aku nggak bisa baca pikiran.

Setelah meletakkan ponsel di atas bantal, guemenarik tisu.

Oh, tenang saja. Tisu itu bukan untuk sebuah tangisan. Bukannya gue sok kuat, tapi saat ini gue sedang nggak punya alasan untuk menangis. Satu-satunya alasan gue mengambil tisu karena ingus sialan yang membuat gue tersiksa dua hari ini.

Usai menghempaskan lendir itu dari hidung, pikiran gue pun melanglang buana perihal Juna. Kira-kira bagaimana balasan pesan dari Juna? Apakah hati gue akan sakit? Atau justru lega?

Entah kenapa, gue selalu berpikir kalau Juna akan memberikan jawaban yang gue takutkan. Hati kecil gue bilang, Juna akan meninggalkan gue untuk....

Entah untuk apa. Gue nggak tahu. Itu hanya ketakutan tidak beralasan dari seorang gadis yang sedang menjalani LDR. Guerasa, ini adalah efek dari terlalu sering melihat video perselingkuhan di sosial media. Sudah berulang kali gue menekan pilihan 'TIDAK TERTARIK', tapi video sejenis selalu muncul di beranda.

Gue kesel sih jujur.

Ah, aplikasi sosial media sialan.... Besok gue akan menghapus aplikasi itu. Bukan aplikasinya sih yang salah, guenya yang kebanyakan pikiran. Sangat tidak ramah bagi tipe orang overthinking seperti gue.

Di tengah pikiran yang berputar-putar, akhirnya ponsel gue bergetar juga. Gue menarik napas panjang sebelum meraih benda kecil itu. Perlahan gue membuka pesan masuk dari Juna.

Juna
Mungkin karena sudah
nggak ada yang bisa diperjuangkan
dan dipertahankan lagi.

Detik itu juga, langit seolah runtuh dan menghantam tubuh ini.

Gue terdiam. Meskipun jawaban itu sudah terpikirkan sejak kemarin, tapi tetap saja kepala ini terasa berat. Tetap saja hati gue tergores dalam.

Gue menarik napas panjang berulang kali.

Dada gue sesak. Jujur, sesak banget.

Tapi apalagi yang bisa gue lakukan? Memohon ke Juna biar tetap bersama?

NOPE. Nggak akan. Gue bukan tipe orang yang seperti itu. Kalau dia mau pergi, ya pergi saja. Gue sama sekali nggak ingin menahannya meskipun gue masih sayang.

Pelan tapi pasti, gue berusaha menata hati dan pikiran yang mendadak kacau. Gue membisu dalam waktu lama, sampai akhirnya gue mengetik balasan untuk Juna.

Sheila
Nah, gitu dong dari kemarin.
Bukannya diem aja. It's ok kalo
kamu emang capek. Toh aku juga
nggak bisa maksain kan.

DIKSI BINTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang