01. Gue Baik Aja, Katanya

2.1K 355 214
                                    

Takut tambah dewasa
Takut aku kecewa
Takut tak sekuat yang kukira

Menjadi dewasa itu sulit.

Kenapa nggak ada yang bilang ke gue?

Setidaknya gue bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan dewasa.

Kenapa nggak ada yang bilang bahwa jadi dewasa itu sesulit dan semenakutkan ini?

Seingat gue, definisi dewasa ketika gue masih kecil tuh nggak sehoror ini. Dewasa di mata gue yang anak-anak masih sebatas punya gaji sendiri, bisa baca novel dewasa, bisa tinggal sendirian, dan bagian yang paling menyenangkan adalah bisa ke mana pun SENDIRIAN dan bebas melakukan apa pun.

Nggak ada yang pernah memberikan peringatan bahwa menjadi dewasa bisa menghabiskan stok kewarasan. Apa gunanya bebas melakukan apa pun jika bayarannya adalah kesehatan mental?

Hari ini sudah kedua kalinya gue ke dokter. Keluhan gue sejak pagi masih sama saja. Lalu senja itu, gue berjalan pulang dengan tatapan nanar dan sebisa mungkin menjaga keseimbangan. Kepala gue semakin berat. Tapi gue tetap memaksakan diri berjalan menyibak keramaian. Semakin cepat gue berjalan, detak jantung ini semakin tidak karuan.

Gue pun berhenti sejenak. Pikiran ini terlempar ke adegan pagi menjelang siang tadi.

Dokter tampan bernama Kai Arion itu bilang, fisik gue baik-baik saja. Di pemeriksaan pertama, gue mendapatkan diagnosis maag kronis. Lalu gue mendapatkan satu suntikan di pantat. Tentu saja dengan harapan agar gue cepat sembuh. Sayangnya, pengorbanan gue yang menyodorkan pantat demi suntikan itu sia-sia.

Lima jam kemudian....

Ketika gue berusaha mengisi lambung dengan nasi dan ayam goreng, tubuh ini bereaksi lagi. Lalu dengan bodohnya, gue kembali ke dokter yang sama. Di pemeriksaan kedua, dokter Kai itu hanya tersenyum setelah melakukan pemeriksaan.

"Badan kamu nggak apa-apa kok," katanya.

"Tapi kenapa rasanya sakit, ya? Detak jantungnya juga cepet banget," kata gue masih mengeluh.

"Kamu mikirin apa?" tanya dokter itu lembut.

Gue terdiam. Padahal sebenarnya gue tahu masalahnya, tapi gue memang denial aja.

"Obatnya masih sama dengan yang tadi, ya. Dihabiskan biar cepet sembuh." Kai terlihat ingin mengakhiri keparnoan gue tentang sakit ini. Ia menatap gue lagi dan berkata, "Obat dari psikiater juga diminum."

Itu masalahnya. Yang sakit itu... mental gue.

"Kamu jangan makan pedes, santen, asem, kafein, dan bergas. Kalau ada apa-apa, dateng lagi," lanjut Kai lalu menyodorkan kartu namanya. "Simpan. Mungkin kamu butuh."

Sikap baik Kai membuat gue sedikit bertanya-tanya. Seumur hidup, gue belum pernah menemukan dokter ramah yang merelakan kartu namanya untuk gue. Dengan sedikit ragu, gue mengambil kartu nama itu. Mungkin ke depannya, kartu nama ini akan sangat berguna mengingat kesehatan gue sering drop belakangan ini.

"Oke...."

Pikiran ini pun kembali ke masa sekarang.

Gue menarik napas panjang. Sedikit sesak, tapi langkah ini harus tetap terayun. Gue nggak mau pingsan di jalan, lalu jadi tontonan orang-orang atau bahkan sampai direkam dan diviralkan di sosial media dengan narasi palsu. Semakin jauh gue berjalan, tangan dan kaki ini semakin gemetaran. Ternyata niat dan kemampuan gue nggak berkorelasi lurus. Niat gue adalah jadi manusia (sok) kuat. Namun kapasitas tubuh gue hanya segini. Benar-benar mengkhianati niat dan semangat.

DIKSI BINTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang