"Kapan terakhir kali lo bahagia?"
Aurora berhenti menyedot jus alpukatnya. Mata bulatnya yang bening mengerjap cantik. Pertanyaan gue sukses merebut perhatiannya dari jus alpukat. Tapi hanya sejenak karena setelah itu, Aurora kembali menyesap minumannya hingga habis.
"Hari ini," jawabnya sambil meletakkan gelas kosong di meja.
"Oh... hal apa yang bikin lo bahagia hari ini?" tanya gue lagi.
"Karena gue bisa makan nasi padang gulai limpa dan minum jus alpukat."
Sejenak gue terpaku. "Sesimpel itu?"
Gadis cantik itu tertawa renyah. "Bahagia nggak harus tentang hal besar, kan?"
Gue mengangguk pelan. Kalimat itu sangat sederhana, tapi cukup mengguncang hati gue. Pada akhirnya gue cuma bisa membisu sambil menyesap minuman terakhir. Gue berpikir, kapan terakhir kali bahagia karena hal kecil? Kayaknya gue terlalu terpaku dengan hal besar sampai lupa kalau harus mensyukuri hal seremeh: gue masih bisa makan hari ini.
Well, gue juga nggak akan menyalahkan diri sendiri. Gue memaklumi kenapa gue seperti ini. Gue sadar, kesehatan mental yang nggak baik bikin gue makin parah dalam melihat sesuatu. Tapi ada satu hal yang bikin gue penasaran. Apakah Aurora nggak pernah merasa buruk? Buruk dalam arti, dia sampai pejuang kesehatan mental seperti gue.
Setahu gue, Aurora pernah in a relationship dengan artis yang punya fans militan. Kisah Aurora yang itu sudah jadi rahasia publik. Tapi secara personal, gue nggak pernah menanyakan detail ceritanya ke dia.
"Gue pernah ngerasain hidup susah di negara orang. Gue harus kuliah sambil kerja karena gue bukan anak beasiswa. Gue juga pernah dipecat karena nggak sengaja ngerusak properti toko. Kalo nggak ada Lisa, udah luntang-lantung gue di Korea," kata Aurora tiba-tiba.
"Beruntung banget lo punya sahabat kayak Lisa."
"Ah, sayang banget dia balik ke Korea lagi buat lanjut kuliah."
Gue gagal paham. "Kok gitu? Harusnya lo seneng dong dia bisa kuliah lagi."
"Gue seneng kok. Seneng banget. Tapi jujur, gue juga pengen dia ada di sini. Kayak ada yang ilang aja gitu," jelas Aurora dengan tatapan menerawang. "She's the best friend I've ever had."
Gue kembali terdiam. Bagaimana rasanya punya sahabat sebaik Lisa?
Gue pengen banget punya sahabat kayak gitu. Tapi trust issue ini terlalu tinggi. Gue terlalu berprasangka buruk pada orang lain. Kadang gue berpikir kalau Aurora berteman karena ada maunya saja. Padahal kalau dipikir-pikir, nggak ada yang salah dengan sikap Aurora. Dia baik.
"Udah?" tanya Aurora sambil merapikan piringnya.
"Udah."
"Gue traktir, ya."
"Beneran nih?" sambut gue berbinar.
"Bener," angguk Aurora seraya mengeluarkan dompet. Ia mencabut satu lembar seratus ribuan dari sana. "Harusnya lo lunch pakai bekal dari Bintang, kan? Tapi gue malah ajak ke sini. Jadi anggep aja ini bayaran atas rasa bersalah gue. Oke?"
Oh, iya.... Gue hampir lupa kalau ada bento dari Bintang di meja. Ada senyum tipis di bibir gue ketika Aurora melontarkan itu. Dia nggak butuh persetujuan dari gue dan langsung menuju kasir. Mungkin dia tahu kalau gue sedang nggak baik-baik saja. Pada akhirnya, gue pun hanya duduk manis di kursi sambil menunggu transaksi itu berakhir. Ketika pikiran ini akan terlempar ke sosok Juna, tiba-tiba ponsel gue bergetar.
Terus terang gue agak malas membaca nama Bintang di layar. Namun jempol ini kadang tidak tahu diri dan keterusan menekan layar hingga pesan itu terbaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIKSI BINTANG
General FictionMenjadi dewasa itu sulit. Kenapa nggak ada yang bilang ke gue? Seingat gue, definisi dewasa ketika gue masih kecil nggak sehoror ini.