Satu

122 3 0
                                    

Udara dingin segar khas pegunungan di malam hari. Kekosongannya malam ini diisi tawa lima orang laki-laki yang sedang beronda. Tak tahu apa yang dibicarakan, tapi melihat mereka saja sudah damai.

Aku Arvin, tempat tinggalku ini di pegunungan. Bukan tanah kelahiranku memang, tapi aku mencintai tempat ini. Seperti biasa, di malam hari sepulang dari rumahnya aku menyusuri jalan setapak. Arah pulangku adalah barat, saat berjalan tangan kananku menatap rumah-rumah sederhana, sangat asri. Sedangkan kepalaku sudah pasti sibuk memandang langit, menoleh ke kiri, aku bisa melihat bentang langit yang luas. Indah, tapi lebih indah dia.

Aku datang ke tempat ini saat umurku sebelas tahun. Sudah terhitung sejak sembilan tahun lalu aku diasingkan. Haha, mungkin terlalu dramatis, tapi itu benar. Aku datang dari kota sibuk nun jauh di sana. Sebutlah aku di sini untuk beristirahat, walaupun di rumah asli aku hanyalah anak rumahan.

Arvin artinya sahabat. Bunda yang memberitahuku. Kata bunda aku tak perlu jadi kuat, aku cuma perlu jadi berguna untuk orang disekitarku. Aku ini lemah dari lahir, walau fisikku sempurna mentalku baik, entahlah, aku juga bukan anak yang penyakitan. Aku hanya lemah. Aku mudah lelah.

Ah, aku mulai berpikir yang tidak penting lagi. Aku harus segera pulang. Jika tidak, aku akan kelelahan. Aku harus segera tidur.

"Vin, mau pulang?" seperti biasa mereka menyapaku. Orang-orang disini sangat ramah.

"Iya Pak, dari rumahnya Lia,"

"Mau dianter, Vin?"

"Tidak Pak, tinggal lewat dua rumah aja itu,"

"Hahahaha, iya iya. Hati-hati,"

"Siap Pak, saya duluan,"

Semua bapak-bapak melambai ke arahku. Oh ya, aku sedang dalam perjalanan pulang dari rumah Camelia. Sudah menjadi kebiasaanku berkunjung ke rumahnya. Aku dan Camelia bertemu saat awal kepindahanku. Camelia anak tunggal dari Pak RW tempatku tinggal dan aku yang sendiri di sini di'titip'kan ke keluarga Pak RW. Jadi tidak aneh jika aku bisa bolak-balik mengunjungi rumah Camelia. Toh, aku sudah dianggap seperti keluarga sendiri, katanya.

"Lia," aku sedang di rumah Camelia. Hari ini Senin malam pukul delapan lewat lima belas menit, kami janji untuk nonton film bersama, tapi batal karena pemadaman listrik. Aku kesal sekali.

"Iya, Vin?" sekarang kami ada di halaman rumah Camelia. Rumah ini terhitung rumah paling atas, ya memang, letaknya di jajaran paling atas, jadi di halaman rumah ini kami bisa melihat rumah yang ada di bawah. Camelia mengajakku main ayunan saja. Malam-malam begini main ayunan? Dia masih waraskan? Tapi tak apalah, karena bersama Camelia.

Sejuknya angin malam ini, ingin ku tuang pada kanvas di rumah. Semoga aku tidak lupa dan sepertinya aku tidak akan lupa karena aku juga ingin menuangkan Camelia di dalamnya.

"Kamu pernah ke daerah terlarang di bawah sana?" aku melihat ke bawah, dimana terdapat perkebunan datar yang kemudian setelah kebun itu ada tebing curam dan katanya di bawah tebing itu ada daerah terlarang.

"Pernah, tapi waktu itu aku tersesat," dia bicara sambil menerawang. "Seperti apa memangnya daerah itu?"

"Aku tidak begitu ingat, tapi satu yang kuingat. Langit," jari telunjuknya dijentikkan. Senyum mengembang, seperti mengenang sesuatu yang indah.

"Langit?"

"Iya, aku tersesat waktu malam,"

"Eh? Kamu ketakutan?"

"Tidak," jawabnya mantap.

"Kamu tahu, Vin?" sambungnya ketika ia rasa aku diam tak tahu ingin bertanya apa lagi.

"Tidak, kamu belum bilang,"

"Waktu itu aku senang, walau tersesat aku tenang. Tak khawatir sama sekali," ia mengayunkan ayunannya, agak tinggi. Aku diam saja, menunggu ceritanya.

"Aku pikir mungkin orang-orang sedang mencariku, tapi aku sembunyi. Sembunyi ketika aku mendengar mereka memanggil namaku,"

"Kenapa? Kamu tahu jalan pulang?"

"Tentu, tapi bukan itu," ia berhenti mengayun, membenarkan rambut yang lepas dari ikatnya.

"Lalu?" ku tanya lagi, ingin mendengar suaranya lebih dan lebih.

"Daripada pulang, aku lebih ingin menatap langit di malam itu,"

"Ah, aku juga sering dengar keindahan daerah terlarang itu. Tapi bukannya di suruh kesana, malah kita dilarang. Padahal untuk kepusat kota biasanya juga lewat situ, aku sangat ingin kesana"

Camelia tertawa renyah, kemudian melanjutkan ceritanya, "Sebenarnya bukan tempat itu yang berbahaya, tapi tebing curam sebelumnya. Itu sangat curam, aku saja sampai babak belur. Lagian, untuk kepusat kota, ada jalan memutar, tidak ada akses untuk turun lewat situ. Kalau adapun cuma jalan tikus curam yang berbahaya,"

"Haaaaahhhhhh...." aku menghela nafas panjang, terlalu ingin ke tempat itu. "Kapan-kapan ayo!"

"Eh? Serius?" aku sedikit kaget dengan perkataannya.

"Menentang alam sedikit tak apa, 'kan?" ia berkata demikian sambil tersenyum miring. "Lagipula aku ingin kamu juga melihatnya. Oh ya, kamu tahu?"

"Apa lagi, Lia?"

"Waktu itu, aku sudah dimakan nyamuk, aku teriak 'AYAAAAAAHHHH', tidak lama setelah itu datang rombongan warga, mereka membawa obor. Posisi mereka di atasku, aku yang di bawah tebing tidak bisa berhenti tertawa. Kupikir, sampai segitunya mencariku."

Aku hanya tersenyum membalas ceritanya.

Dia tak tahu. Jika dia hilang sebentar saja, kahyangan sudah geger.

Camelia : Camelia tak BersedihWhere stories live. Discover now