Tiga

45 2 0
                                    

Pagi pukul empat aku bangun, tak perlu alarm. Ku kira semalam aku tak akan bisa tidur tapi ternyata tidurku nyenyak. Syukurlah bisa bangun tepat waktu. Kusegerakan mengambil air wudhu. Seperti biasa kubuka pintu rumah, masih terdengar suara anak-anak kecil mengaji. Mungkin lebih baik aku sholat Shubuh di mushollah saja. Kami biasanya berwudhu di aliran air dari sumbernya. Lewat lorong bambu air mengalir. Kemudian di sinilah mushollah tempat kami beribadah. Bangunannya terbuat dari kayu dan sedikit lebih tinggi dari bangunan lain. Yang paling aku sukai adalah lantai berdecit di terasan mushollah.

Aku pulang. Entah kenapa, sekarang aku sedang berdiri di depan pagar rumah yang hanya sebatas pinggang orang dewasa. Rumah yang sederhana tapi sudah pakai batu bata. Sembilan tahun aku tinggal di rumah ini sendiri. Bunda dan ayah sekali dalam sebulan berkunjung, meninggalkan uang dan mampir ke rumah Camelia.

Oh iya, aku harus bergegas. Pukul lima kami akan pergi ke daerah terlarang. Tak lama kemudian Camelia datang dengan sepeda kayuh dan satu keranjang bekal di bagian depan. "Sudah siap, Vin?" ku tutup pagar rumahku "Sudah!". "Naik!" Camelia mengisyaratkan untuk naik setelah memutar arah sepedanya. Aku naik dan dia mulai mengayuh.

"Lia, apa aku berat?"

"Tidak, tubuhmu kurus gitu, mana berat," aku tak menyangkal, tubuhku memang kurus untuk ukuran laki-laki dewasa.

Kami keluar dari area desa menuju jalan beraspal. Daerah ini tidak terlalu ramai. Selain memang tempatnya yang berada di bagian atas pegunungan, di sini juga bukan area wisata. Jadi tidak aneh jika jarang ada mobil atau truk yang lewat. Kalau ada pun mungkin mobil pemilik kebun yang dititpkan pada orang-orang di desa kami.

Sepertinya, Camelia baru saja mencuci rambutnya. Wangi ini yang tiap hari kucium darinya. Aku bukan laki-laki mesum. Salah sendiri dia wangi, aku jadi suka aromanya. Apalagi tertiup angin semilir pagi ini dan aku tepat di belakangnya. Untung besar!

Camelia sepertinya jadi pendiam, ia tidak bicara panjang lebar sepanjang jalan dan aku juga... ehm! terlalu sibuk menikmati wangi Camelia. "Sampai! Kita parkir di sini saja. Istirahat dulu ya. Ternyata lumayan juga." Rumput di bawah kami masih basah karena embun. Suara burung terdengar kecil dari kejauhan. Udaranya juga masih dingin, untungnya kabut tidak seberapa. Camelia duduk selonjoran di bawah sepeda. Sekarang di depan kami adalah arah selatan di belakang kami tebing yang jika dipanjat akan sampai ke desa kami.

Sekarang aku tahu, keindahan yang dibicarakan orang-orang. Selera mereka tidak rendahan. "Arvin! Sebentar lagi matahari terbit, ayo!" Camelia beranjak, berjalan ke arah pohon di sebelah timur. Jika ditanya apa kami bisa melihat matahari terbit, jawabannya bisa. Daerah terlarang ini cukup luas, tapi tak seluas lapangan bola sepak. Bentuknya setengah lingkaran bengkok. Di sebelah timur ada satu pohon, mungkin sebagai petunjuk arah. Di sebelah barat banyak bunga tumbuh hampir seperti kebun, tapi yang ini liar. Jika melihat ke arah selatan ada anak bukit berjejer sembarang tapi indahnya tak terelakkan.

"Mataharinya!"

Ah, apa yang kulihat sekarang ini mungkin akan ku rindukan selamanya. Matahari yang terbit dan mengusir gelap. Tak lupa, menerangi wajah Camelia yang sedari tadi tak bisa kulihat dengan jelas. Kami diam di bawah rindangnya pohon. Angin bertiup matahari memberi hangat buat kami yang menatapnya kagum. Aku iri. Betapa indah dan senang menjadi matahari yang bisa membuat Camelia terlihat semenarik ini. "Hei, ayo makan. Aku bawa bekal." Camelia mengagetkanku dan ia berlalu begitu saja. Aku yang memandangnya dan untuk sejenak lupa dengan si matahari. Bagiku Camelia-lah matahari pagi ini.

Camelia menyiapkan kami tempat dan makan. Setelahnya, kami hanya duduk dan bercerita. Memangnya apalagi yang bisa dilakukan di tempat seindah ini selain bercerita dengan orang tercinta. Untungnya tempat ini belum terkontaminasi banyak orang.

Pukul sembilan lewat empat belas menit. Harusnya sudah mulai terik, tapi malah awan mendung yang datang disusul petir yang menyambar di kejauhan. Angin juga tiba-tiba kencang. Anehnya, kami malah tertawa. "Kamu bawa payung, Lia?"

"Tidak," katanya sambil menengadahkan tangannya, mencari tahu hujan turun atau belum. "Ayo pulang, keburu hujan." Camelia buru-buru mengambil sepeda. "Lia, biar aku yang bonceng,"

"Tidak!" jawabnya cepat. "Hei, kurasa hari ini adalah hariku. Aku jadi manusia paling kuat hari ini. Tolong ijinkan." Aku memasang wajah yang meyakinkan dan "Jangan memaksakan diri," katanya.

Kami sudah di jalan pulang saat gerimis mulai turun, kami berdua tertawa. Tawa Camelia sangat riang. Awalnya dia berpegangan pada pinggangku, sekarang tangannya sudah dibentangkan. "Arvin, aku sangat senang."

Air yang turun semakin cepat, "Aku juga, Lia." Senyumku tak bisa ku tahan. Mengayuh sepeda naik kemudian berseluncur saat jalan menurun.

"Kamu tau apa yang membuatku lebih senang lagi?"

"Apa, Lia?"

"Bang Adi dan keluarganya akan datang melamarku besok."

Ah, kenapa dengan jantungku. Rasanya sakit sekali. Air hujan juga jadi sangat dingin. Jalan menanjak ini juga sangat sulit dilewati. Camelia di belakangku terlihat senang walau sudah basah kuyup. Apa Camelia tidak bisa melihatku yang ada di depannya sekarang? Apa katanya tadi? Lamaran? Bang Adi? Ah, aku hampir lupa.

Bang Adi, lelaki yang dicintai Camelia. Usianya tiga tahun di atas kami. Aku hanya pernah bertemu dengannya satu kali. Waktu dia pulang dari perantauan, di hari itu aku kehilangan Cameliaku. Bang Adi anak dari kepala desa yang sudah jadi tentara di tanah yang jauh. Camelia sering menceritakannya padaku. Aku juga selalu mendengarkan suaranya. Tapi aku juga lupa, Camelia sangat mencintai Bang Adi dan besok adalah hari Bang Adi melamar Camelia.

Aku mengayuh sepeda dengan sisa tenaga. Senyumku juga sudah pudar. Dari tadi Camelia bicara tapi rasanya aku tak mendengar apa-apa. Untuk kali ini, aku ingin Camelia diam. Alam memberiku kekuatan. Hati dan raga. Rasa dan asa jatuh bersama hujan yang tenang hari ini. Camelia di belakangku masih bercerita, dia bahagia. Apa aku sudah jadi orang yang jahat? Karena bersedih saat orang yang aku cintai bahagia? Apa benar begitu? Hei, aku ini lemah sekali. Begini saja menangis, untung Tuhan tidak mau aku kelihatan lemah sekarang. Alam pun sedang bersahabat denganku, dia ikut menangis saat aku sedih.

Apa aku bisa tidur malam ini? 

Camelia : Camelia tak BersedihWhere stories live. Discover now