Dua

51 2 0
                                    

Hari Sabtu malam, seperti biasa aku dan Camelia duduk di pos ronda dekat rumahku. Entah untuk bercerita atau makan malam. Malam ini langit terlihat cantik, bulan bersama banyak bintang. "Arvin?" suara lembut Camelia memanggilku.

"Iya, Lia?" aku menoleh padanya yang duduk di samping kiriku. Dia menatap langit, "Kamu tinggal di sini sampai kapan?"

"Eh? Kenapa tanya gitu?" aku bingung, Camelia melanjutkan bicaranya, "Arvin tetap di sini saja ya." Kujawab iya.

"Kamu tidak tanya kenapa?" tanyanya lagi. "Hmm. Kenapa?"

"Camelia Iskandar, anak Pak RW bakal kuliah di luar negeri! Yeay!" Sinar wajahnya berubah lebih terang ketimbang biasanya.

"Lantas kenapa aku harus tetap di sini?"

"Alasan Arvin datang kesini untuk berdamai dengan alam, 'kan?"

"Ya?" jawabku ragu, memahami Camelia terlalu sulit. "Tempat ini cocok untuk Arvin. Jadi, kamu harus nunggu sampai aku pulang ya,"

"Iya, Lia. Tapi memangnya sudah pasti kamu kuliah dimana?"

"Jepang, kamu tahu, 'kan? Aku sangat ingin kesana," aku tahu itu, sangat tahu. "Kapan Lia berangkat?" "Besok pagi!" jawabnya dengan cepat, tanpa beban.

Eh? Rasanya jantungku dipacu sangat cepat dan kemudian dipaksa untuk berhenti. Aku diam, tak tahu harus apa. Bukankah harusnya aku mengucapkan selamat dan memberinnya semangat? Ahh.. bahkan rasanya aku tak ingin mengantar keberangkatannya. Duh, gusti. Bagaimana ini?

"HAHAHA!!!" aku tersentak, tawa Camelia menggelegar. "Arvin," panggilnya kencang.

"..." aku diam lagi. "HAHAHA!!" aku memandangnya dengan bingung. Kenapa dia tertawa sekeras itu saat hatiku sedang berduka?

"Lihat, Arvin! Wajahmu sangat sedih. Duh duh, air mataku sampai keluar!!" dia menyeka air matanya saat air mataku kubendung mati-matian. "Arvin, aku hanya bercanda, aku tidak kemana-mana," ia melanjutkan kegiatan tertawanya, tampak senyum di bibirnya masih mengembang.

"Eh! Sebentar! Apa kamu bilang? Bercanda?" aku menaikkan nada bicaraku. "Duh. Aku kaget! Jangan tiba-tiba teriak Arvin," keluhnya padaku. "Jawab!"

"Iya, aku bercanda tentang aku yang akan kuliah di Jepang. Tapi aku serius untuk kamu tetap di sini saja." Fyuhhhh.. aku menghela nafas panjang. "Ada-ada saja kamu ini. Bercandamu tidak lucu," aku sedikit merengut, tak suka.

"Tapi wajah sedihmu tadi sangat lucu, Vin. Bagaimana bisa wajahmu seperti akan kehilangan nyawa begitu? Dasar, harusnya kufoto dulu tadi." Aku diam, hanya bisa diam. Tak mungkin bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di dalam diriku. "Vin? Kenapa diam?"

"Tidak," aku menjawab sekenanya. "Besok. Ayo?"

Eh? "Ayo? Kemana?" apa ini kencan?

"Daerah terlarang" dia akan mengajakku ke sana? "Jangan khawatir, nanti aku yang bonceng. Kita ambil jalan memutar saja. Akses jalan di depan rumah sangat berbahaya. Tak usah dipikir. Ikut saja besok, kita pergi pagi-pagi buta. Ku jemput ya," aku tak bisa menolak ajakannya. "Terimakasih, Lia," senyumku mengembang secara tak sadar.

"Apapun untuk Arvin."

Kemudian kami diam. Aku dengan perasaan senangku dan Camelia dengan... entahlah. Aku tidak bisa tahu isi dalam hatinya. Camelia terlalu misteri untuk aku yang detektif amatiran. Anggap saja begitu. Wanita ini terlalu rumit, aku tidak mengerti. Kadang seperti memberikan cinta dan batasan pada waktu yang bersamaan. Tapi ku pikir, karena aku hidup aku jadi merasakan perasaan yang lumrah. Bergejolak dan memburu asa, cintaku ku tuang dalam kanvas saat aku sendiri, kanvas yang suci ku nodai dengan warna-warni rasa. 

Camelia : Camelia tak BersedihWhere stories live. Discover now