Love Song

150 17 1
                                    

"Yaaah, hujan..."Kayla mendongakkan kepala, menatap langit yang kini meneteskan air matanya dengan deras.

"Yah, payungnya di mobil, lagi."Bulan mengulurkan tangannya ke arah hujan di hadapannya.

"Deres mas, ngapain dites lagi begitu?"tanya Kayla sambil terkekeh. "Gimana dong? Bude udh mulai masak kan?"

"Kayaknya sih... Tapi kan yang kita belanjain yang buat pudding. Kayanya mah ngga usah buru-buru gak papa."

Kayla mengangguk-angguk. Ia lalu menatap sekelilingnya, mencari tempat untuk menunggu hujan reda. Berhubung mobil Bulan diparkir cukup jauh, mereka mau tidak mau harus menunggu.

Kurang beruntung, Kayla tidak bisa menemukan tempat menunggu karena mereka saat ini berada di pasar tradisional yang tidak menyediakan tempat duduk seperti di swalayan atau supermarket.

"Capek ya, mau duduk?"tanya Bulan begitu sadar akan Kayla yang gelisah mencari tempat duduk.

Yang ditanya hanya bisa nyengir. "Iya. Capek aku tadi keliling nyari loyang kan lama."

Kayla merogoh tasnya, hendak mencari ponsel untuk menghubungi Bude Ratmi. Alih-alih ponsel, ia menemukan sebuah payung kecil yang ternyata ia simpan di tote bag itu.

"Mas, ada payung!"ujarnya dengan riang sambil menunjukkan payungnya pada Bulan. Kayla pun mengeluarkan payung dari wadahnya, lalu membukanya. "Yah, tapi kecil banget, Mas. Ini payung jaman aku kuliah soalnya."

"Mas sih terobos juga gak papa, La. Kamu itu. Yaudah, kamu aja yang pake payung. Mas ga usah."

"Ih... Kok gitu? Jangan dong. Nanti sakit. Udah bareng aja,"Kayla menarik lengan baju Bulan, membuat jarak di antara mereka kini hanya sebatas tongkat payung. Dengan aba-aba Kayla, mereka pun berjalan perlahan keluar dari pasar.

Dekatnya jarak antara mereka membuat Bulan bisa mencium wangi Tuberose khas Kayla yang sangat Bulan sukai. Mereka berjalan bersisian, membuat lengan Bulan kerap kali bersentuhan dengan lengan Kayla. Setiap kali hal itu terjadi, jantung Bulan sudah tidak lagi berirama dengan semestinya. Rasa panas pun menjalar ke pipi Bulan, membuat semburat merah muda tergambar jelas di pipinya.

"Lho, Mas, itu sebelah kirinya Mas kena hujan lho, sinian makanya,"Kayla berkata seraya menarik lengan Bulan lebih dekat lagi, agar lengan kiri Bulan tetap berada di bawah lindungan payung.

Ya ampun. Bener-bener ya, kamu, La.

Jantung Bulan semakin berdebar tak keruan, wajahnya sudah memerah bak kepiting rebus. Ia kini hanya bisa berusaha mengatur nafasnya agar tidak tiba-tiba sesak.

"Eung... La, ga mau melipir dulu ke kafe itu? Beli kopi panas dulu, Mas kedinginan..."

Kayla menoleh pada Bulan, mengamati wajah Bulan dengan seksama, khawatir terjadi sesuatu pada laki-laki itu. Yang ditatap nafasnya tercekat. Kalau saja Kayla tidak segera mengiyakan ajakannya dan kembali fokus ke jalan, mungkin Bulan sudah sesak karena lupa menarik nafas.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
From The MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang