Gadis Bernama Ayana

148 0 0
                                    

Pernikahan palsu! Hanya terikat dalam sebuah akad ucapan qobiltu dengan keterpaksaan. Tak ada mawaddah, cinta yang merekah. Tak tercipta rahmah, wujud kasih sayang. Apalagi merasa sakinah, hadirnya sebuah ketenangan.

Dadaku naik-turun. Amarah tengah membara. Rasanya kepala hangus terbakar. Tangan membabi buta memukul, meluapkan gejolak emosi. Samsak di hadapan pun tak sanggup menahan ganasnya bara api jiwa yang marah. Isinya meluruh keluar. Aku mengerang frustasi. Andai iman tak terpatri dalam dada, diri ini lebih memilih jalani hidup dalam kubangan dosa. Sebab terlanjur basah.

"Stop, Lik! Kasian tuh samsak lu sakitin," rutuk Indra dengan menggelengkan kepala.

"Cih, lu kaga ngerti, Dra!"

Tangan ini masih memborbardir samsak. Melampiaskan sesak yang bergelayut dalam sini, hati.

Aku, Malikfathul Hussein, tiba-tiba saja dinikahkan dengan gadis asing. Dia amat berbeda dari perempuan seusianya.

"Lik, liat tangan lu berdarah gitu. Lu dholimin diri sendiri. Lupa ya ama yang kemarin lu ceramahin ke kita?"

Tertegun sesaat. Hati berkenyut, seperti ditampar. Namun tak kasat mata. Bisa memberi cahaya tapi diri sendiri masih terjebak dalam gelap. Aih, dasar semprul. Menasehati orang lain enteng memang.

Benakku terus digerayangi Ayana. Begitu menyebalkan mahluk itu tadi pagi. Ruangan kerjaku. Luluh lantak bak kapal pecah. Padahal, sebelumnya mewanti-wanti, agar dia menjauhi room itu. Semua miniatur bangunan ambyar berserakan di lantai, membuatku naik pitam. Gejolak emosi meletup-letup.

Harga diri sebagai suami seakan tercabik-cabik pula. Suaraku keras membentaknya. Namun, Ayana seperti gadis buta dan tuli. Kekesalan bertambah berkali-kali lipat di mana dia hanya menatapku sekilas dengan muka datar.

"Itu wajar Lik. Ayana sulit memahami perasaan orang lain. Tugasmu, ajarkan dia caranya berempati meskipun bentuk yang kaku seperti ucapan dan juga sikap yang ikut sedih atau takut," ucap seorang gadis di hadapanku.

Aku menarik napas panjang. Mengurai amarah yang membelai jiwa.

"Ndut, apa Ayana bisa disembuhkan? tanyaku sembari meninggalkan samsak yang tak utuh lagi.

Rania, teman sewaktu kuliah juga sarjana jurusan ABK itu mengangguk kuat.

" Asal Ayana rajin terapi, juga elu, Lik, kudu sabar,"jawabnya dengan nada meyakinkan.

🌵🌵🌵

Butuh beberapa menit sebelum turun dari mobil. Menghela napas dalam, menjernihkan pikiran untuk siap melangkah ke rumah.

"Najma, gimana Ayana sekarang?"

"Alhamdulillah, Bu Nyai sudah tenang."

Telinga ini tak sengaja menguping obrolan mereka di dapur.

"Lukanya sudah diobati?"

"Sudah. Sepertinya Ning Ayana risih dengan kedatangan Pak Harjo tadi sore."

Saat hari pernikahan, Ayana mengamuk. Dia tantrum sampai Ummi kewalahan. Setelah pamannya-- Pak Harjo-- beranjak menyalami kami di pelaminan. Hari ini pun sama. Aneh.

Yang lebih aneh lagi, sehari sebelum akad nikah, Pak Harjo menemuiku, lelaki tua itu memberi tawaran sekaligus ancaman. Mulus, membikin diri ini terpasung bingung. Entah apa maksud dari pria berkumis tebal itu.

***

Disela begadang, melahap jurnal-jurnal mengenai arsitektur berbahasa Inggris, yang cukup membuat otak berasap, kulangkahkan kaki, menatap gadis lugu yang terlelap di peraduan.

La Taqlaq Ayana Where stories live. Discover now