Bag 2

73 1 0
                                    

Pagi itu mendung di langit Bangkok. Aku terdiam di balkon kamar hotel Bo Bae Tower. Keindahan Kanal Mahanak tersaji di depan mata. Namun, rasa hampa terus menyiksaku. Mendamba hangat mentari dan hijau dedaunan suatu desa nan jauh di Pulau Jawa.

[Mas Malik, pulanglah ... Abah katanya rindu. ]

[Mas, Abah nanyain terus.]

[Mas ... Abah sakit, hiks]

Sesak menyeruak dalam dada saat membaca pesan dari Asma--adikku. Aku ingin pulang. Tapi ... ah!

"Anda harus menang telak malam ini.  Jangan buat Mr. Stone kecewa," cakap asisten Mr. Stone sekaligus pelatihku. Dia terduduk di sampingku sembari menikmati secangkir aroma kopi panas di tangannya .

Aku menghela napas berat.

"Mr. Stone bertaruh banyak uang atas kemenangan malam ini! Cuma satu yang harus kau lakukan, menang atau hidupmu segera berakhir."

Dia beralih menatap lensaku intens.

Mulut ini terkekeh, menertawai diri sendiri yang bobrok. Telah sekian lama menjadi wayang para bedebah, yang rakus harta.

Tak ada yang lebih menyeramkan dari sasana tinju yang dijalankan dengan tetesan keringat, darah dan rasa takut.

Kuakui terlambat menyadari, keliru memilih jalan. Dikontrak klub besar dunia, membuatku seketika gelap mata.

Para kampiun memang benar-benar dimanjakan di sasana ini. Mereka menikmati pendapatan yang tak sedikit dari liga MMA, petarungan bebas lintas negara. Namun, liga itu cuma kulit, sejatinya itu hanya kedok bagi sindikat pertarungan yang kerap membeli, menjual dan menukar petarungan, kebanyakan anak lagi-lagi, layaknya budak. Miris.

  Malamnya, Lumpinee Stadium menegang.  Di bawah tekanan besar seorang bos mafia, aku bertarung habis-habisan.  Tak akan biarkan raga ini mati berkawan ikan di dasar sungai Chao Phra Ya.

Tiba-tiba di akhir ronde ke-4, raga tersungkur mencium kanvas.  Sejurus kemudian, suara tembakkan terdengar di segala penjuru. Sebuah pistol tergeletak di samping wajahku, dan mataku tak sanggup melihat apa yang terjadi. Benar-benar sadis.

"Cepat tembak saja, Malik!"

Jantung berdetak amat kencang. Sontak aku meringis sembari mata terpejam kuat . Mengingat kelamnya kepingan masa lalu.

"Gus, Gus Malik!"

Suara keras membuatku kaget, tersadar itu hanya serpihan memori pahit setahun ke belakang.

"Iya, iya, wonten opo, Kang? tanyaku seraya menyeka peluh di pelipis--karena bersitegang dengan buruknya kenangan.

"Gus, nyuwun sewu. Ba'da isya jenengan ngisi pengajian rutinan, ngebadalin Gus Yusuf."

"Ngaji kitab apa, Kang?" tanyaku lagi seraya mengangkat alis.

"Kitab Al-Hikam, Gus."

Mampus.

Rasanya ingin moksa, lenyap dari bentala. Menghilang dari bumi saat ini juga, saat kalang kabut membuka kitab, mutholaah kembali. Entah sudah berapa tahun aku tak menyentuhnya. Padahal, dulu lumayan bisa untuk sekedar baca atau maknani.

Ilmu itu suci. Ia akan betah melekat pada diri yang menjaga kesucian, terutama kebersihan hati. Sementara pada hati yang kusam, ilmu akan pergi.

Wajar saja! Sekarang mendapati diri ini menjadi dungu. Nyaris semua ilmu lenyap tak berimba. Seonggok merah dalam dada, kini terlampau usang berdebu, langka dibersihkan.

"A-aik, Aik ...." (Malik, Malik)

Suara Ayana memanggilku, terdengar mendekat saat aku tengah larut, mengorek dengan susah payah aksara arab gundul.

"Aik ... Aik ...."

Aku mengabaikannya. Ganggu, dia.

"Aik ih Aik!"

Sepertinya Gadis itu mulai geram. Aku terkekeh dalam hati. Haha ...  rasain, Ay!

"Aik li-aat."

Bug!

Cepat, aku mendongak. Melihatnya dari bawah ke atas. Sejurus kemudian, aku tak bisa menahan tawa.

"Disuruh siapa Ay?" tanyaku sambil memegang perut.

Ayana mendelik.

Dia memakai sepatu boot seperti akan ke kebun, kepalanya ditutupi helm hijau yang kebesaran. Tangannya dibungkus sarung tinju warna merah, lalu memukul tembok yang di halangi kasur. Kocak!

"Apa-apaan kamu Dek? Ngerjain Mbakmu mulu hmm ...," celetukku pada Asma yang sedang mengawasi Ayana.

"Bukan, Mas. Adek cuma kasian kulit Mbak Ay. Lha, kalo gitu lumayan aman 'kan?"

Semprul.

Suara gawai terdengar. Jempolku segera menggeser simbol hijau pada layar.

"Gus, hasil tes sudah keluar. Silahkan diambil."

Aku bergegas meluncur, menuju rumah sakit.

         ******

Aku terduduk lemas di sofa, tertegun pilu menatap selembar surat dari dokter. Dua minggu silam aku sengaja membawa Ayana ke psikiater.

"Dugaan si Rania bener dong?" Indra bertanya. Tangannya beringsut merebut kertas yang aku pegang.

Kepala ini mengangguk pelan.

Spekulasi dokter, Ayana mengalami trauma akut. Dia akan self-injury, menyakiti dirinya sendiri jika disentuh lawan jenis karena kemungkinan, gadis itu pernah terkena kekerasan atau pelecehan. Pelecehan seksual, misalnya. Entah, pikiranku tertuju pada laki-laki tua--Pak Harjo.

"Dra, dari kemarin gue nelpon si Ndut Rania, kaga diangkat. Kenapa ya?" lontarku sambil menyimpan surat itu di meja.

Indra terdiam sejenak. Instingku segera memberi tahu. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan sahabatku itu.

"Mungkin ... eh, gak tau gue, Lik," jawabnya sembari mengendikkan bahu.

"Nasib lu, Lik! Bener-bener penuh drama, " lirih Indra seraya menepuk pundakku agak keras.

"Apa bener Ayana pernah dilecehkan?"

Aku mengusap wajah kasar.

"Gue tau caranya supaya lu tau ."

"Paan, Dra?

"Lha, lu cobain langsung. Masih disegel apa nggak," jawabnya sambil mengerlingkan mata sebelah.

Dahiku berkerut, "Piye? "

"Alah, so polos."

Kurang hasem si Indra.

"Jo, gimana hasil penyelidikan, siapa yang neror ane?" tanyaku pada Jodi, seorang informan yang tengah sibuk berkutat dengan laptop di seberang meja.

"Hasil masih belum akurat. Tapi ane punya fakta yang mencengangkan. Keluarga Ayana bukan kaleng-kaleng."
Jodi, lelaki brewok itu menyodorkan sejumlah foto.

Aku masih fakir informasi tentang asal usul Ayana. Setibanya di tanah kelahiran, acara pernikahan telah disiapkan. Ummi sampai berlutut di hadapanku untuk menikahi gadis itu.

"Ane cabut."

Aku langsung menyambar jaket, lalu melesak pergi. Tak peduli tatapan kaget dari mereka.

Turun dari motor, lalu mencocoki tempat ini dengan selembar foto.

Mataku berpendar, melihat rumah mewah ala Eropa dengan tiang-tiang putih berdiri kokoh di hadapanku. Berbagai jenis bunga menghias cantik di pekarangan. Tiba-tiba lututku ditubruk seorang gadis kecil.

Jleb.

Aku membeku saat menatap bocah itu. Garis wajahnya kenapa begitu mirip ....

Apa benar dugaanku?

****

Note:

MMA : Mix Martial Art, menggabungkan banyak jenis beladiri, seperti taekwondo, tinju, muay thai, judo, dll.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 04, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

La Taqlaq Ayana Where stories live. Discover now