I

8 1 0
                                    

Aku tidak tahu sejak kapan ini terjadi. Hanya saja, semua yang aku lakukan mulai berubah menjadi hampa. Tawaku palsu, senyumku tak setulus aku yang dulu . Aku selalu merasa lelah, selalu. Seolah oksigen di bumi ini tak cukup membuat aku bernafas. Karena entah sejak kapan aku memiliki kebiasaan baru yaitu, meraup udara dengan rakus lantas menghelanya dengan malas tanpa dilihat siapapun tentu saja.

Namun sosok itu mengetahui rahasiaku Menyebalkan memang ketika apa yang ingin aku tampilkan dan jati diri terdalamku diketahui orang lain. Terlebih sosok itu terlalu ikut campur dengan urusanku. Aku tidak begitu peduli, sungguh.

Pertemuan antara aku dengannya merupakan satu dari dua hal di dunia ini yang sangat aku sesalkan. Lelaki yang berprofesi sebagai guru TK itu pada awalnya menyita begitu banyak atensiku. Bola matanya yang cokelat terang seolah menghipnotisku. Ditambah aura kebapakannya saat mengasuh anak-anak didiknya membuat aku cukup terpesona.
Tapi, dia terus menarikku menjauh dari duniaku. Mengajarkan aku hal-hal yang telah aku buang. Memberiku perasaan hangat. Aku tak mau menerima itu. Hal itu hanya ilusi bagiku, aku tak mau sama sekali.

"Kenapa kau melamun? Apa masakanku tidak enak?"

Dengar? Suara baritone yang menyebalkan itu bahkan terngiang di telingaku sekarang. Tapi, tunggu! Bukankah sekarang aku sedang berada di tempat kerjanya? Ah, kenapa aku bisa disini? Benar, aku baru saja mengantar setan kec- maksudku, keponakanku ke sini.

"Kiran, Kau baik?" Lagi suara itu terdengar. Kali ini ditambah pemilik suara yang berderap menghampiriku dengan pandangan penuh khawatir. "Hari ini kau terlihat sedang tidak fokus."

"Masakanmu enak seperti biasa. Bisakah kau tak memberikan aku makanan ketika aku datang kesini?"

Alisku mengernyit kesal. Lelaki berusia 21 tahun itu menarik kursi tepat di depanku. Ia dudukkan bokongnya dengan nyaman di sana tanpa mengalihkan pandangannya pada diriku sama sekali. "Karena berpura-pura bahagia itu butuh tenaga. Makanya aku buatkan makanan bergizi untukmu. Nah, tolong dihabiskan!"

Kepalanya ia miringkan ke kiri. Guratan senyum yang begitu lebar menghiasi wajahnya. Rasanya aku ingin melempar kotak bekal di genggamanku ke arahnya sekarang.

"Entah kau ini ingin sarkastik atau memang manusia baik yang polos." Aku menggerutu lantas melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda karena perkataannya..

Lelaki itu tidak membalas. Ia menatap jam yang berada tepat di belakangku. Rambutnya sedikit bergoyang saat ia tergesa bangkit dari duduknya.

"Kelas sebentar lagi dimulai, aku harus kembali pada anak-anak. Nikmati makananmu, Kiran."

Dia menepuk bahuku sekilas lantas berlari pergi meninggalkanku yang masih terkejut karena reaksinya yang tiba-tiba. Aku menengok perlahan ke arahnya yang pergi menjauh. Memperhatikan punggung itu sampai menghilang dari indera penglihatanku.

"Ah, semua memang salahku karena membiarkan dia seenaknya masuk dalam hidupku."

Cepat-cepat aku habiskan makanan di kotak bekalnya. Biasanya dia menungguku sampai selesai makan dan membawa kembali kotak bekal miliknya. Tapi, karena aku melakukan hal bodoh yang menyita waktu, sepertinya aku harus menyimpan kotak bekal miliknya sebentar. Memulangkannya saat aku menjemput keponakanku nanti, karena sekarang aku harus bergegas ke kampus.

👾

Kelas telah usai beberapa menit lalu. Diriku dipusingkan dengan tugas presentasi yang dosen berikan untuk minggu depan. Aku merapikan seluruh barang-barangku di atas meja dengan cepat. Jujur, aku sedang malas memasang topeng ceriaku di hadapan orang-orang.

Aku adalah seorang mahasiswi tahun kedua jurusan Psikologi. Kebetulan aku mempelajari tentang psikologi anak. Kakakku yang mengetahui hal itu menyarankanku untuk bertanya pada guru TK keponakanku. Hal itulah yang membuat aku mengenal lelaki menyebalkan itu. Kebetulan ia juga berkuliah di tempat yang sama denganku, hanya saja ia mengambil kelas malam dan menjadi guru saat pagi sampai siang. Setahuku jurusannya adalah Pendidikan, entahlah aku lupa pendidikan apa.

Sejujurnya aku tak memiliki impian. Aku merasa hampa. Alasanku masuk jurusan psikologi karena aku ingin mengetahui keadaanku, cuma itu. Tak ada impian yang spesial seperti ingin menolong atau merawat seseorang. Menurutku itu adalah impian yang naif.

"Kiran! Kenapa kau terburu-buru?"

Ah, suara itu. Alasan apa lagi yang harus aku katakan untuk membodohinya. Aku sedang malas untuk sekedar basa-basi atau nongkrong tidak jelas di cafe saat ini. "Ah, Gia.."

Sosok perempuan di depanku menggenggam sejumput rok hitamnya yang hanya selutut. Pipinya menggembung kesal karena aku meninggalkannya begitu saja. Netranya yang berwarna cokelat kayu menatapku penuh selidik. Baiklah, kali ini alasan apalagi yang akan aku berikan padanya.

"Hehe.. Kau pasti mencariku, kan? Maaf hari ini aku tidak bisa ikut. Kau tahu sudah satu bulan lebih kakakku dengan semena-mena menyuruhku mengantar anaknya ke TK."

"Tapi, aku rindu main denganmu." Matanya terlihat berkaca-kaca. Tingkahnya mirip sekali dengan anak kecil meskipun usianya sudah memasuki kepala dua. Andai saja aku bisa berterus terang dengan ringan seperti Gia. Pasti rasanya menyenangkan.

"Akhir minggu ini aku kosong, nanti kita main saat itu. Mengerti?" Bahunya kutepuk lembut. Terlihat garis keraguan terpancar dari air mukanya. Sedetik kemudian ia mengangguk bersemangat. Tangannya langsung merengkuhku ke dalam pelukan. Ia melompat-lompat kegirangan.

"Baiklah, aku pergi dulu dengan yang lainnya. Ingat Kiran, kita harus main akhir minggu!"

Dia melepaskan pelukan mautnya dariku. Aku meraup oksigen dengan rakus. Kadang aku berfikir pelukan Gia bisa membawa maut. Beruntung, sampai saat ini aku masih bisa bernafas setelah hampir sekarat dipeluknya.

Gia tertawa riang sambil menyenandungkan sesuatu saat langkahnya perlahan meninggalkanku. Tangan itu masih melambai ke arahku yang kubalas juga dengan lambaian serta sebuah senyum kecil. Netraku terus memandangi punggungnya sampai tak terlihat karena tertutupi manusia-manusia lain.

"Melelahkan."

Lagi-lagi aku menggerutu. Kupaksakan langkahku untuk menjauh dari tempat ini. Ingin sekali aku secepatnya pergi. Tiba-tiba aku ingin mengunjungi TK itu. Rasa penasaran terhadap rasa hangat yang menjalari dadaku tiap berkunjung kesana membuat aku takut. Takut kehilangan diriku yang sekarang. Tapi, aku tak bisa menipu rasa ingin tahuku. Aku cukup tetap menjadi diriku sendiri dan tidak terpengaruh aura hangat mereka bukan?

"Baiklah, sudah diputuskan aku harus kemana."

Helm telah bertengger manis di kepalaku. Motorku sudah tidak sabar untuk segera merajai jalanan. Baiklah, sepertinya memang aku harus ke tempat itu. Ya, meski harus bertemu dengan lelaki menyebalkan sepertinya.

👾

Yuk semua like, komen and share cerita aku ya makasih :)

AmbivalenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang