Waktu hampir dini hari ketika tangisan bayi terdengar melengking lagi. Kusingkap gorden untuk melihat keberadaan ibu muda yang baru melahirkan beberapa hari lalu. Ah, ternyata kali ini dia tidak menggendong bayinya ke luar rumah. Baguslah. Bukan apa-apa. Kasihan, bayi masih merah, tetapi sudah terkena angin malam.
Kembali ke ranjang, kudapati dengkur halus Fey. Dia terlihat sangat nyenyak dan tidak terganggu sama sekali dengan kehadiran makhluk mungil, tetangga sebelah kami.
Fey, bukan nama sebenarnya. Sebuah nama pena dan aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan itu. Singkat dan unik. Aku mengenal lelaki itu di grup kepenulisan. Sedikit aneh sih, dia bisa hadir di tengah-tengah kami, para perempuan yang sukanya berhalusinasi.
Dia menggeliat, lalu mengubah posisi tidurnya. Jangan bayangkan lelaki berbadan tegap seperti para tokoh dalam novel. Perawakan yang kecil, jauh jika dibandingkan denganku. Pernah kudengar pendapat beberapa lelaki tentangku yang katanya, 'ayam bangkok'. Sungguh terlalu, orang-orang yang menyematkan julukan itu padaku.
Tubuh Fey menggelung seperti janin. Bertutur tentang janin, aku seperti tertampar. Tiba-tiba saja panas mendesak keluar dari sudut mata. Pikiranku seakan melewati lorong waktu, terseret ke masa itu.
"Selamat ya, Sayang." Ibu memelukku penuh kasih.
Aku mengangguk haru. Air mata tak terbendung lagi. Bagaimanapun, aku sempat putus asa. Lelah bolak-balik rumah sakit untuk cek kesehatan. Sering tak sadarkan diri saat menstruasi, tentu tak berlebihan jika Ibu lebih protektif.
Ibu melepas pelukannya setelah mengecup puncak kepalaku.
"Kak Nitaaa, selamat ya." Adel, si bungsu bergantian memelukku erat-erat. Sampai-sampai aku kewalahan, tak sanggup menopang tubuhnya yang lebih besar dariku.
Kami memang keluarga besar. Dalam artian, terlampau subur dan sering dikira kelewat makmur. Berbeda dengan kakak perempuan kami, Anggun. Uh, tubuh langsingnya membuat lelaki mata keranjang menatap lapar. Dianugerahi paras cantik, membuat Anggun tak sulit mendapatkan rupiah. Yah, walaupun gelar sarjana tak sempat dia raih. Lebih sibuk mendulang emas, dia jadi lupa daratan.
Netraku berkeliling mencari keberadaannya. Ah, dia pasti belum kembali terbang.
"Kak Anggun enggak usah dicari. Eh, itu bukannya Kak Doni?" tunjuk Adel pada sosok lelaki yang tengah berjalan ke arah kami.
Kuusap sisa air mata di pipi. Tatapanku seakan mengeja setiap langkah kaki Doni yang panjang. Kulihat, dia menggenggam buket bunga.
Bibirku mengembang saat jarak kian dekat. Membalas senyum pepsodent milik Doni.
"Selamat ya, Nit. Berarti sebentar lagi siap ya jadi nyonya Doni." Doni mengerling. Sedangkan Ibu dan Adel terlihat saling melempar senyum.
Doni menyerahkan karangan bunga dan ... aih, ada boneka wisuda juga. Lucu, saat dewasa bukan lagi boneka sebagai mainan, bukan? Mau bagaimana lagi. Kulihat, wisudawan dan wisudawati yang lain pun hampir sama, menerima boneka berbaju toga dari orang terkasih.
"Ih, kapan ya aku dapat boneka juga?" Adel meringis, memandang kami dengan tatapan mupeng.
"Belajar yang rajin, biar bisa dapat beasiswa seperti kakakmu, Nduk." Ibu mengusap-usap rambut Adel dengan hangat.
Begitulah kondisi kami. Sebagai orang tua, bukannya Ibu tidak bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Ibu sekaligus memegang peran Ayah, tak memiliki cukup uang untuk biaya kuliah. Penghasilannya dari kuli cuci di rumah tetangga, bahkan tidak cukup untuk makan sehari-hari. Sementara untuk sekolah Adel, sebagian dari hasil aku menulis atau pesanan terjemahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Dua Hati
Short StoryKisah-kisah tentang 1. Mengenang sosok - pertama kali jatuh cinta 2. Kehilangan - pertama kali patah hati 3. Baru - Bangkit dari kejatuhan 4. Harapan - mimpi dan impian 5. Kebahagiaan - pertama kali merasa diri begitu dicintai Selamat Membaca 💞�...