Pagi masih dipayungi kabut, tetapi tak menghalangi keelokan danau di depan mata. Menghidu tanah basah bekas hujan semalam, rasanya seperti terlempar pada masa itu.
Bisa dibilang, dia cinta pertamaku. Bukan. Tepatnya aku merasa dicintai untuk yang pertama kali.
Masih kuingat, kala itu raungan sirene terdengar kian dekat. Aku bersama anggota geng motor lainnya berlomba-lomba meninggalkan lokasi balap liar. Aku terus memacu moge dengan kecepatan tinggi karena mobil patroli di belakang, nyaris mengikis jarak.
"Awas, Za!" seru Ben yang diboncengku.
Terlambat kusadari bahaya di depan mata. Sesosok tubuh mungil, tampak melayang dan terlempar beberapa meter setelah tertabrak motor yang kukendarai. Bisa kulihat, bocah itu jatuh terkapar sesaat setelah kepalanya menghantam batu yang cukup besar.
Suara ban pun berdecit, terdengar mengisi sepinya malam saat aku mengerem keras-keras.
"Astaga, Za!" Ben tergesa turun dari motor.
Beberapa bocah yang mengenakan kain sarung, tampak berhamburan dari sebuah bangunan. Kulihat, mulut mereka ternganga. Mungkin terkejut melihat korban yang sudah berlumuran darah.
"Allahu Akbar!" pekik mereka kemudian.
Bukan main paniknya aku saat melihat kedatangan rombongan yang diduga santri itu. Bersiap tancap gas, kurasa pilihan terbaik saat ini. Daripada diamuk masa bukan? Sayangnya, usahaku gagal karena motor ditahan oleh Ben. Dia juga mengirim isyarat melalui mata yang bila diterjemahkan, aku tidak perlu melarikan diri.
"Lu udah gila apa? Kita bisa digebukin kalau turun!" Aku menatap nyalang cowok berambut gondrong itu.
"Mereka cuma anak-anak, Za! Enggak mungkinlah mereka bertindak anarki!" Ben mencabut paksa kunci motorku.
Sebal rasanya saat tidak diberi kesempatan untuk berpikir. Ben malah menyeretku ke hadapan korban. Sementara mobil patroli yang tadi mengejar, berhenti setelah suara sirene tak lagi mengudara. Kulihat, tiga orang polisi melompat dari mobil dan berlari ke TKP.
"Ben, polisi ...," bisikku lirih.
"Siapa yang telah menabrak anak ini?" tanya salah seorang polisi dengan tegas.
"Tangkap saya, Pak." Ben menyerahkan kedua tangannya.
Mendengar pengakuan Ben, mulutku menganga tak percaya. Namun kurasa, ada baiknya aku diam. Daripada pikiran dibayang-bayangi jeruji besi. Belum lagi bayangan raut wajah kecewa Papa, melintas begitu saja.
"Brigadir! Bawa korban ini ke rumah sakit." Polisi berpakaian preman itu menoleh pada anggotanya.
"Dek, panggil Ustad Ridwan sekarang. Bilang, santrinya mengalami kecelakaan," perintah anggota lainnya pada salah seorang santri.
Atas usul Ben, aku ikut serta mengantar korban ke rumah sakit bersama Ustad Ridwan yang kuketahui namanya dari polisi. Nama yang mengingatkanku akan bangku sekolah. Pelajaran agama yang terus diulang-ulang hingga kelas tiga SMA. Hanya itu yang kuingat tentang jabatan Ridwan sebagai malaikat penjaga Surga.
Kalau dilihat dari penampilannya, cowok yang duduk berseberangan denganku memang ada bakat menjadi penghuni surga. Memang ada ya, surga? Kubuang napas dengan kasar.
Kulihat cowok itu memperbaiki posisi pecinya dengan tangan kiri. Sementara jari-jari tangannya yang lain, sibuk memainkan kalung. Ah, bukan. Itu tasbih. Bibirnya tak kalah aktif, komat-kamit seperti sedang melafalkan doa.
Pikiranku melayang pada Ben. Aku belum tahu keadaan cowok itu sekarang, yang jelas perasaan bersalah mulai merasuk kalbu.
Aku mencuri-curi pandang lagi. Penampilan cowok itu sangat jauh berbeda denganku yang mengenakan jeans belel. Ah, kini gadis tengil ini malah salah tingkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Dua Hati
القصة القصيرةKisah-kisah tentang 1. Mengenang sosok - pertama kali jatuh cinta 2. Kehilangan - pertama kali patah hati 3. Baru - Bangkit dari kejatuhan 4. Harapan - mimpi dan impian 5. Kebahagiaan - pertama kali merasa diri begitu dicintai Selamat Membaca 💞�...