Desa Vellihard.
Seorang anak tertidur di atas kasur. Wajahnya tampak penuh ketenangan. Nafasnya berhembus teratur. Bibir tipisnya sedikit terbuka tanpa mengeluarkan suara. Kedua tangannya menopang kepalanya, sehingga ia dapat bertamasya di dunia fantasinya.Ia tidak mendengkur ataupun berliur. Tidurnya sangatlah pulas dan tenang.
Takdir berjalan dengan pasti. Angin pagi bertiup cukup kencang. Menerpa si anak yang tertidur pulas. Kedua jendela itu terbuka lebar. Sinar matahari pun menerobos masuk tanpa izin. Menerangi kamar yang sejatinya membutuhkan kehangatan tersebut.
Tak jauh beberapa saat setelahnya, si anak mulai bergerak. Menunjukkan tanda-tanda kehidupannya. Perlahan matanya mulai terbuka. Dilanjutkan dengan badannya, ia renggangkan seluar-luasnya. Mulutnya terbuka lebar, menguap selama beberapa detik. Setelah merasa dirinya nyaman, ia mulai berdiri. Menatap dunia di hadapannya yang cerah. Sesekali ia juga mengusap matanya untuk memperjelas pandangannya. Ia mengambil nafas panjang. Udara terbaik hanya bisa dihirup saat itu saja.
Sedikit, senyumnya mengembang, “Jadi aku tertidur, ya,” gumamnya pelan.
Hari baru telah menanti.
***
“Selamat pagi, Nyonya Rhea,” sapanya sembari menuruni anak tangga.
Seorang wanita berusia kepala 40-an itu menoleh sejenak ke arah sumber suara. Seolah terasa membosankan — dan memang membosankan—, ia kembali kepada kegiatan yang sedang dilakukannya.
“Kau bangun terlambat, Natsumo! Berapa kali harus kuperingatkan? Kau boleh tinggal di rumahku dan mendapatkan berbagai fasilitas dariku. Namun bukan berarti kau boleh seenaknya saja tinggal di sini. Jika kejadian seperti ini terus terjadi, kau hanya akan menjadi parasit di rumahku, paham?!”
“Oh, baik. Saya paham, Nyonya Rhea. Maaf atas kesalahan saya. Mimpi semalam terlalu indah dan bagus, sampai-sampai aku lupa kalau ini sudah pagi.”
“Jangan banyak beralasan! Inilah sebabnya aku tidak menyukai laki-laki semacam dirimu. Banyak saja alasannya. Kau membuatku muak, tahu!”
“Ba, baik! Namun hanya saja sa-”
“Tidak ada tapi-tapian! Sudah, makan sana!”
“Aku tidak mengatakannya…”
Nyonya Rhea menatap tajam anak berambut coklat tersebut. Tatapannya persis seperti orang yang ingin membunuh musuhnya. Natsumo tidak berkata-kata lagi. Ia hanya tersenyum dan berjalan menuju meja makan.
“Sup ayam lagi?” gumamnya setelah duduk di atas kursi.
“Mengapa? Kau tidak suka? Kau tidak terima? Makan saja apa yang terhidang di sana. Bersyukurlah bahwa kau dapat merasakan nikmatnya makanan. Kau tahu? Banyak manusia yang kelaparan di luar sana. Entah karena factor kemiskinan ataupun kekeringan. Mereka bekerja keras hanya untuk mendapatkan sesuap nasi dan seteguk air agar bisa diberikan kepada anak-anak dan orang yang mereka cintai. Dan kau? Jangan memandang makanan seperti itu. Itu membuatku muak dan jijik padamu!”
Natsumo menelan ludah. Kata-kata dari Nyonya Rhea memang benar, tapi ia tidak bermaksud untuk seperti itu, “Bukannya saya tidak suka, Nyonya Rhea. Namun, sejak 3 hari yang lalu Nyonya Rhea selalu membuatkanku sarapan sup ayam.”
Nyonya Rhea mengalihkan pandangannya dari koran yang ia baca. Sejenak ia menatap anak yang masih terdiam di atas kursi yang didudukinya. Tidak perlu lama-lama, Nyonya Rhea kembali membaca korannya.
“Hei,” Nyonya Rhea menegur Natsumo kasar, “Terserah aku ingin memasak apa. Anak kecil sepertimu tidak layak untuk mengkritik wanita sepertiku. Cepat habiskan makananmu dan pergi bekerja. Kau masih punya tumpukan pekerjaan untuk diselesaikan hari ini. Jika kau masih mengeluh maka aku tidak akan segan untuk membiarkanmu kelaparan, Natsumo!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Natsumo
FantasySeorang pemuda yang berpetualang mencari keluarganya yang hilang. Hanya dengan berbekal potongan memori, ia harus melewati berbagai rintangan dan halangan yang telah menunggunya di tengah jalan. Cinta, persahabatan, bahagia, kecewa, amarah, takut...