3. Gagal Move On

417 26 2
                                    

Tak terasa sudah seminggu Nidya bekerja menjadi sekretaris Bagas, ia sudah kebal dengan keusilan yang dilakukan Bagas padanya. Namun Nidya berusaha bersikap netral saat terkadang Bagas memberikan pujian meskipun dalam hatinya sedang berbunga-bunga. Nidya sadar Bagas sudah memiliki kekasih, dan ia pun sadar jika ia hanyalah sekeping masa lalu yang mungkin hanya sebatas singgah di hati Bagas. Nidya menganggap keusilan Bagas hanya untuk menggodanya seperti dulu, saat ia masih menjadi muridnya. Nidya akui sampai detik ini perasaannya pada Bagas masihlah sama. Tidak pernah berubah sedikit pun meskipun waktu mencoba menghapusnya. Bagaimana ia bisa melupakan Bagas jika setiap hari wajah Bagas selalu bersamanya.

Dengan langkah berat Nidya memasuki gedung kantornya, ia yakin jika bos tampannya itu pasti sudah berada di ruangannya. Nidya sampai heran dengan bosnya yang gila kerja itu, tiap hari pulang kerja paling cepat pukul 7 malam, terkadang sampai pukul 10 malam. Pada hari Sabtu kemarin saja mereka pulang jam 5 sore padahal semua karyawan sudah bubar pada pukul 12 siang, mau tidak mau sebagai sekretarisnya Nidya harus selalu menunggu sampai kerjaan bosnya selesai, untung saja apartemen Nidya dekat dengan kantor yang hanya berjarak sekitar 500 m dan Nidya hanya butuh 10 menit untuk sampai di apartemen dengan menggunakan motor matic miliknya.

Bagas pura-pura serius dengan pekerjaan saat terdengar suara sepatu Nidya mendekat. Bagas memang gila bekerja tapi sekarang lebih gila lagi, ia memang sengaja berlama-lama berada di kantor hanya demi lebih lama bersama Nidya.

"Assalamulaikum Pak Bagas!" sapa Nidya dengan ramah sebelum duduk di meja kerjanya. Sebenarnya Nidya merasa tidak nyaman karena harus satu ruangan dengan bosnya. Dan ini murni perintah Bagas yang tidak bisa ditolak oleh Nidya. Ulfa sendiri keheranan saat mengetahui Nidya dan Bagas berada dalam satu ruang, padahal sebelumnya Bagas tidak pernah setuju jika ruangannya harus terbagi dengan sekretarisnya. Bagas tidak suka jika privasinya terusik.

"Waalaikumsalam Nid!" balas Bagas singkat tanpa menoleh.

"Tolong bacakan agenda saya hari ini!" perintah Bagas selang 15 menit setelah kedatangan Nidya.

"Baik Pak!" sahur Nidya seraya membuka buku agenda yang sudah ia persiapkan dari kemarin.

"Ok, terima kasih," balas Bagas setelah Nidya membacakan agendanya hari ini. Dua klien harus ia temui hari ini secara sekaligus.

"Pak saya permisi dulu!" Izin Nidya saat istirahat jam makan siang. Namun saat Nidya hendak menyentuh gagang pintu Bagas memanggilnya.

"Kita makan di sini saja. Saya sudah delivery order makanan, jam 2 kita harus bertemu dengan klien. Jadi agar kita tidak sampai terlambat kita makan siang di kantor, dan kamu bisa sholat di kamar pribadi saya," papar Bagas dengan tenang.

"Apa! Kamar Bapak?" Nidya syok dan berbalik badan menghadap Bagas dengan tatapan tak terbaca.

"Iya di kamar saya. Apa ada yang salah? Atau kamu merasa keberatan?" cecar Bagas. "Lagipula daripada kamu capek-capek turun ke lantai 3 untuk sholat jadi lebih efisien kita sholat di sini saja," imbuh Bagas lalu mengeluarkan remot dari laci mejanya. Nidya terkejut saat melihat rak buku di ruangan itu bergerak lalu terlihat sebuah pintu di belakangnya. Nidya mengikuti langkah kaki Bagas memasuki ruangan itu. Seketika Nidya dibuat takjub dengan ruangan bernuansa putih dan bersih tersebut. Ruangan ini hanya terdiri dari ranjang berukuran king, kamar mandi, dan meja kerja. Di atas kepala ranjang terdapat lukisan abstrak yang cukup besar dan unik. Kamar ini secara otomatis mengingatkan kenangan 5 tahun silam saat dirinya menghabiskan tiga malam bersama Bagas.

Sreek.. Suara tirai besar membuyarkan kekagumannya. Dari kaca besar itu tampak kota Surabaya yang dipadati oleh gedung-gedung pencakar langit. Nidya seketika membayangkan kerlap-kerlip lampu kota Surabaya disaat malam hari yang pastinya sangat indah.

Accidentally in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang