Pemuda bersurai hitam, beriris mata ruby itu kini melangkahkan kakinya memasuki sekolah barunya. Namanya ialah Halilintar.
Ia adalah seorang pemuda yang cerdas dan berpendidikan tinggi, namun sayangnya ia juga dikenal sebagai pemuda yang terkesan cuek dan dingin. Ia selalu menunjukkan sikap yang tidak peduli dengan orang-orang disekitarnya, bahkan untuk berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya pun ia tidak pernah. Dengan sikapnya itulah ia tidak pernah mempunyai teman. Semua orang tidak mempedulikannya, mereka mungkin menganggapnya tidak ada. Karena itu, ia sering sekali berpindah-pindah sekolah. Bahkan penyebab ia pindah ke sekolah ini pun karena ia mendapat sebuah masalah. Namun Halilintar sama sekali tidak peduli tentang hal itu. Ia sudah terbiasa.
Halilintar berjalan memasuki kelasnya, lalu ia pun duduk tepat di pojok belakang, dekat dengan jendela. Spot itu adalah favoritnya. Ia tidak terlalu suka duduk didepan yang menjadi pusat perhatian nantinya. Itu merepotkan.
'Semoga saja hari ini berakhir dengan cepat.' Batin Halilintar menghela nafas malas, merasa tidak bersemangat dengan kepindahan ke sekolah barunya ini. Pasalnya ia sudah tau bahwa pada akhirnya semuanya akan tetap sama, tidak akan ada yang berubah. Atau itulah yang dipikirkannya.
"Ohh! Lihatlah itu! Dia masih berani datang ke sekolah! Wah, wah, sepertinya kita tidak menghajarnya dengan cukup!"
"Tsk...! Hey! Kenapa sih kau malah datang lagi kesini?! Kau malah mempermalukan nama sekolah ini kau tau?! Heran, kenapa bisa-bisanya kepala sekolah itu menerima anak cacat sepertimu disini..."
"Sudahlah kalian. Percuma saja kita mengeluh tentang keadaannya. Dia itu tidak akan mau mendengar kita, ingat? Anaknya keras kepala seperti itu."
"Ah, kau benar. Tapi tetap saja, seharusnya dia di sekolahkan disekolah khusus orang cacat saja. Bukan disini!"
"Pfft—mau bagaimana lagi. Kakeknya kan pemilik sekolah ini. Jadi mungkin saja dia menghasut kakeknya itu supaya bersekolah disini agar nampak elit."
"Waah... menjijikan sekali ya."
Halilintar menautkan alisnya bingung disaat mendengar ejekan-ejekan tersebut yang terdengar keterlaluan dan di luar batas. Ia pun akhirnya memandang kearah objek ejekan dan ternyata itu adalah seorang pemuda yang terlihat seumuran dengan dirinya.Namun pemuda itu nampak kecil dan mungil, di tangan kanannya terdapat tongkat yang dipegang erat olehnya.
'Huh? Bukannya itu tongkat untuk orang buta?' Halilintar membatin sembari terus menatap pemuda tersebut dalam diam, hingga ia menggelengkan kepalanya kasar lalu memalingkan wajahnya, menatap ke luar jendela.
"Apa peduliku? Mau dia buta atau apapun, itu bukan urusanku." Gumamnya ketus pada diri sendiri, mencoba untuk tidak peduli.
Namun pada akhirnya, Halilintar melirik kembali kepada pemuda tersebut yang kini tengah berjalan menuju mejanya. Rasa penasarannya kini meluap lebih besar daripada egonya. Lagipula pemuda itu tidak bisa melihat dirinya ini, kan? Jadi apa salahnya melirik sedikit.
"Eh? Uhh.. Maaf. Itu tempatku. Bukan maksudku untuk lancang, tapi bisakah kau pindah ke meja yang lain?" Ucap pemuda tersebut dengan nada suara yang lirih dan gugup.
Halilintar memandang pemuda tersebut dengan ekspresi yang datar, lalu dipalingkan mukanya, menatap ke luar jendela sembari berkata dengan ketus, "ini sudah jadi tempatku sekarang. Jadi pergilah, cari tempat lain."
Pemuda itu nampak terdiam sejenak. Lalu dengan gugup ia berkata, "kak Hali...?"
Halilintar kembali menatap pemuda tersebut dengan ekspresi terkejut disaat mendengarnya menyebut nama kecilnya. Ia menyipitkan matanya, memandang dengan curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile and Regret
General Fiction{Buku kedua dari cerita 'Puppet and String'} Gempa memiliki kesempatan untuk mencari dan mengumpulkan keluarganya kembali meski pada akhirnya ia tidak bisa melihat mereka. Bisakah Gempa mendapatkan akhir yang bahagia ataukah ia harus gagal kembali? ...