Gempa selalu memimpikan saudara-saudaranya. Mimpinya selalu indah di awal. Mereka berkumpul bersama di sebuah taman, berbincang dan tertawa bersama. Terkadang Gempa tidak ingin terbangun dari mimpinya. Namun tetap saja, seindah apapun mimpi yang didapatnya, 'dia' selalu saja mengacaukannya. Setiap mimpi indah yang dilihatnya akan menjadi sebuah mimpi buruk yang selalu terulang.
Gempa membunuh saudara-saudaranya dengan tangannya sendiri.
Hal itu tentu saja membuat Gempa ketakutan dan terpukul.
Setiap malam ia selalu terbangun dengan teriakan histeris dan nafas yang terengah-engah seperti terkena hiperventilasi.
Setiap malam ia selalu meraba ke sekitar ranjangnya, meyakini bahwa tidak ada darah disana, takut jika mimpi itu menjadi kenyataan.
Setiap malam ia tidak pernah bisa tertidur dengan nyenyak dan berakhir terbangun hingga pagi tiba.
Setiap malam ia selalu menangis dalam diam, mencoba menengkan dirinya dan meyakini bahwa saudara-saudaranya masih aman di luar sana, mereka masih hidup.
Setiap malam—setiap ia tertidur merupakan mimpi buruk baginya. Ia tidak mau tertidur lagi.
Bahkan sekarang, disaat ia mencoba untuk mengistirahatkan dirinya di UKS, ia berakhir terbangun kembali dengan teriakan juga tangisan yang memilukan. Entah sampai kapan ini akan berlanjut, Gempa tidak tau. Selama 'dia' masih ada dalam dirinya, hal ini mungkin tidak akan pernah bisa berhenti. Jujur saja, ia sudah lelah.
"Mimpi buruk lagi? Kau memangnya tidak lelah dengan semua itu hmm?"
Gempa menghela nafas panjang, mencoba untuk meredakan tangisannya yang masih saja mengalir dari kedua kelopak matanya, "kau kira ini salah siapa? Jangan main-main dengan pikiranku."
Reverse tertawa renyah, nampak mengejek, "Sudah lama sekali aku tidak melihat reaksi ketakutanmu juga teriakanmu itu. Aku hanya rindu. Memangnya salah?"
Gempa mendengus kasar, ia marah juga kesal karena Reverse yang selalu saja mencoba untuk mengacaukan pikirannya agar tubuhnya bisa di ambil alih. Ingin sekali ia melenyapkan Reverse secepatnya, namun hingga kini ia masih belum tau cara aman untuk melakukannya. Ia memerlukan seseorang untuk membantunya yang buta ini. Seseorang yang bisa ia percayai.
Gempa menundukkan kepalanya lelah. Ia merasa sendirian. Walaupun Halilintar kini sudah ditemukan, namun Halilintar—kakak tersayangnya tidak mengingat dirinya. Mungkin ini adalah hukuman karena ia meninggalkan mereka. Gempa tidak tau lagi.
Ia meraba ke sekitar ranjang, mencoba untuk meraih tongkatnya, namun ia baru ingat bahwa tongkatnya tertinggal di kelas. Gempa menghela nafasnya kembali, meratapi kecerobohannya. Sekarang bagaimana ia bisa pergi dari sini tanpa tongkatnya? Walaupun Halilintar memerintahnya untuk tidak pergi tetapi ia tidak betah berdiam di sini terus menerus.
"Haah.. tidak ada pilihan lain."
Dengan hati-hati, Gempa turun dari ranjang UKS tersebut dan meraba ke sekitar dinding untuk menjadi tumpuan. Dengan langkah yang hati-hati, ia berhasil keluar dari ruang UKS. Ia pun tetap berjalan sembari meraba dinding, memastikan bahwa ia berjalan ke arah yang benar. Kini ia berencana untuk pergi ke perpustakaan.
Perpustakaan adalah tempat favoritnya. Walaupun Gempa tidak bisa membaca apapun disana namun suasana sunyi dan tentram di tempat tersebut sangat menenangkan pikirannya, terutama dari Reverse.
Sesampainya di perpustakaan, Gempa duduk di sudut dinding belakang sembari menyenderkan kepalanya ke dinding samping dengan tenang. Ia menghela nafas lega, menikmati suasana sunyi tanpa adanya gangguan ataupun ancaman yang selalu membuat dirinya lelah. Kini ia bisa terbebas walau untuk sementara waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile and Regret
General Fiction{Buku kedua dari cerita 'Puppet and String'} Gempa memiliki kesempatan untuk mencari dan mengumpulkan keluarganya kembali meski pada akhirnya ia tidak bisa melihat mereka. Bisakah Gempa mendapatkan akhir yang bahagia ataukah ia harus gagal kembali? ...