Lanjutan Anak Berandalan
Jilid 1 : Tujuh Orang Buta
Awal musim rontok, cuaca panas.
Sinar matahari menembus lubang-lubang kertas jendela, menyorot masuk menyinari kulit badan nan putih
halus bagai sutra. Suhu air sedikit lebih hangat dari sinar matahari. Ia sedang rebah santai dalam bak air,
dua kaki yang jenjang mulus diangkat tinggi-tinggi sambil menikmati hangatnya sinar matahari yang tepat
menyorot telapak kakinya. Cahaya nan lembut ibarat tangan kekasih yang mengelus badan.
Hong Si-nio sedang dirundung susah, hatinya gundah.
Setengah bulan ia harus pontang-panting, hari ini sempat mandi air panas, boleh dikata sebagai hari yang
paling bahagia, namun seseorang bila hatinya sedang gundah, banyak pikiran seperti Hong Si-nio saat itu,
rasanya tiada sesuatu persoalan apapun yang dapat menggembirakan hatinya.
Hong Si-nio bukan perempuan yang mau dikendalikan pera-saannya, kelihatannya hari ini ia benar-benar
risau, bimbang dan cemas.
Angin sepoi-sepoi di luar jendela, semilir membawa bau kembang. Di luar sana adalah perbukitan berbatu,
batu-batu berse-rakan.
Dua tahun lalu ia pernah berada di tempat ini.
Dua tahun lalu, seperti sekarang dalam rumah papan yang reyot ini sedang mandi, masih segar dalam
ingatannya, wak.tu itu hatinya amat gembira. Jauh lebih gembira dibanding sekarang.
Keadaannya sekarang rasanya tidak banyak beda dengan keadaan dirinya dua tahun lalu. Dadanya masih
kencang montok, pinggangnya masih ramping, perutnya masih rata mulus, sepasang paha kakinya tetap
mulus, kencang lagi mengkilap. Bola matanya juga masih terang menarik, bila tertawa tetap menawan,
begitu menggiurkan.
Dua tahun ia tetap merawat tubuhnya dengan baik, tidak menyia-nyiakan keindahan tubuhnya, menikmati
kehidupan ini. Ia masih senang menunggang kuda yang dilarikan kencang, memanjat gunung yang tinggi,
makan hidangan yang amat pedas, minum arak yang paling keras, memainkan golok yang tercepat,
membunuh orang yang paling dibenci. Pokoknya menikmati hidup, sepuas-puasnya menikmati kehidupan.
Namun sayang, ia sudah hidup sesuai hasrat hatinya, memburu kesenangan apa saja yang bisa ia lakukan,
namun ia tidak mampu mengusir rasa ‘sepi’ hatinya, rasa sepi yang meresap sumsum, ibarat kayu yang
keropos digerogoti rayap, raga ini seperti menjadi kosong.
Kecuali sepi, lebih parah lagi ia dijangkiti penyakit ‘rindu’. Rindu masa remaja, rindu masa lalu, dari segala
rindu nan rindu, semua bertumpu pada seseorang.
Walau ia tidak ingin mengakui, namun tiada orang lain di dunia ini yang dapat mengisi posisi orang itu di
relung hatinya.
Termasuk Nyo Khay-thay, tiada kesan sama sekali.
Ia sudah menikah dengan Nyo Khay-thay. Tapi malam itu juga ia minggat dari kamar pengantin.