Tuan Attar : "Mona, kalau diliat-liat kamu masuk kriteria calon istri saya."
Mas Aksa : "Mon, lo mau kan jadi cewe gue?"
Aska : "Kak Mona, kakak tipe cewe idaman aku. Mau gak jadi pendamping aku?"
Sore ini Mona membuat janji untuk bertemu dengan Kinar. Ia terus melirik arlojinya, namun Kinar tak kunjung tiba.
Setelah beberapa saat, tiba-tiba Mona ingin buang air kecil. Dengan tergesa ia berlari ke arah toilet.
Di waktu yang bersamaan seorang pria memasuki kafe tersebut, dilemparnya pandangan ke sekitar. Tempatnya nampak penuh.
Namun bagai sebuah keberuntungan, ia menemukan satu tempat kosong yang berada di pojok. Ia pun berjalan menuju tempat tersebut dan dengan cepat menduduki kursinya.
Mona yang sudah kembali dari toilet pun terkejut, ia mendapati tempatnya telah diduduki oleh seseorang yang ia tak kenal.
Dengan lantang Mona menggebrak meja. "Ini meja gue, tau. Pergi lo!"
Pemuda bertato itu menengadah, bingung melihat tingkah Mona. "Kenapa lo? Kesurupan?"
"Budeg! Gue bilang ini meja gue!"
Kemudian pria berwajah datar itu melihat ke kanan dan kiri, memeriksa meja, kursi bahkan apapun yang ada di meja tersebut.
"Tapi di sini gak ada tulisan ini punya lo, tuh."
Mona mengepal tangannya keras, wajahnya memerah menahan kesal. "Heh, gue udah reservasi duluan tau! Lo bisa cocokin nama gue dengan data reservasi kalo lo gak percaya."
"Gak mau, gak penting," Pria itu memainkan ponselnya, tak mengindahkan perkataan Mona. "di mana-mana peraturannya angkat pantat ilang tempat."
Mona menggeram kesal, ia memutar badannya ke sekeliling mencari tempat lain. Namun sial, kondisi kafe cukup ramai. Ia tak kebagian lagi tempat.
Tanpa kehilangan akal Mona mendudukkan dirinya di hadapan pria berhidung bangir tersebut. "Gak usah banyak tanya, gue liat lo dateng sendiri ke sini dan kursi ini masih kosong."
Pria itu melirik ke arah Mona sebentar lalu kembali menatap ponselnya. "Terserah."
Lima belas menit berlalu, keduanya masih sibuk dengan ponsel masing-masing. Mona terus menerus mengirim pesan pada Kinar, namun masih tak ada jawaban. Sementara pria dihadapannya masih sibuk main game.
Tiba-tiba bukannya Kinar yang datang justru seseorang yang amat Mona hindari menemuinya.
"Mona!" pekik pemuda berkulit tan dari arah pintu, teriakannya membuat nyaris seisi kafe melihat kepadanya.
"Hah? Kok bisa? Pasti ulah Kinar ini!" batinnya dalam hati.
Ia merutuki sahabatnya itu dengan berbagai macam umpatan karena telah membuat setting agar ia dapat menemui mantan kekasihnya.
Mona menundukkan kepalanya seolah-olah memainkan ponsel, sementara Joni --mantan kekasih Mona-- melangkah ke arahnya.
"Mon?" tanya Joni, pemuda tan itu melirik ke arah Mona dan pria berwajah datar itu bergantian. "Dia siapa?" tunjuknya pada pemuda itu.
"Bukan siapa-siapa. Ngapain lo ke sini?" ketus Mona. Jujur saja ia muak melihat wajah Joni, setelah apa yang telah ia lakukan minggu lalu.
"Gue pengen ngomong sama lo."
"Gak perlu jelasin apapun lagi, cukup Jon. Please, jangan ganggu gue lagi,"
"Gak bisa! Kita harus ngobrol. Ayo pergi sekarang!"
Tiba-tiba Joni menarik pergelangan tangan Mona dengan paksa. Mona yang enggan menuruti permintaan Joni mencoba melepaskan cengkraman tangannya. Namun nihil, tenaga pemuda tan itu lebih kuat darinya.
"Lepasin, budeg." ucap pemuda itu dengan nada datar secara tiba-tiba.
"Emang lo siapa seenaknya nyuruh gue?!"
"Niskala."
Tanpa mengindahkan perkataan Niskala, Joni tetap menarik paksa lengan Mona yang semakin memerah.
Geram dengan tindakan kasar Joni, Niskala bangkit dan mencengkram bahu kiri pemuda tan itu dengan kuat.
"Gue bilang lepasin!"
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba bahu kiri Joni terasa sakit. Pemuda tan itu meringis dan melepaskan cengkramannya pada Mona.
"Pergi!" Niskala semakin menekan cengkeramannya.
"Oke oke gue pergi!"
Dengan wajah penuh emosi Joni berlalu meninggalkan mereka berdua. Niskala kembali duduk di kursinya dan mengambil benda pipih miliknya di atas meja.
Melihat kejadian tadi Mona terkesima, merubah pandangannya bahwa di dunia ini orang baik sudah punah. Ia salah, karena telah menilai seseorang dari covernya.
"Thanks, Niskala."
Tanpa meninggalkan pandangannya pada layar ponsel, Niskala mengangguk. "Bayarin kopi gue," ucap pemuda itu tiba-tiba.
"Eh?" Raut wajah Mona yang semula berseri kini berubah masam.
"Biar lo gak ngerasa hutang budi, mending bayarin gue kopi. Jadi kita gak usah ketemu lagi. Impas."
Mona memutar bola matanya malas, ia tersenyum kecut. "Gak jadi muji, aslinya ternyata nyebelin dan gak tau malu," batinnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.