Kini mereka berempat tengah menyantap hidangan di ruang makan. Keempatnya membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing, khususnya Mona.
Gadis malang itu kini berada ditengah-tengah kecanggungan antar keluarga.
"Ekhem," Mona membuka suara, mencoba mencairkan suasana. "makanannya enak banget, baru kali ini aku makan ayam goreng seenak ini!"
"Biasa aja," balas Niskala tiba-tiba. Mona menelan salivanya, merasa salah memilih topik. Gadis itu tertunduk dan memakan makanannya kembali tanpa bersuara.
"Tapi emang ini enak, kok. Lo nya aja mas yang gak punya perasaan!" Aska mengambil satu potong dada ayam dan memakannya dengan rakus. "tuh, enak kan?!"
Tak terima dengan ucapan adiknya, Niskala menghentakkan sendok dan garpunya di atas piring dengan lantang, "Pamer? Ngerasa paling bener lo?"
"Maksud lo?! Emang ayam ini enak kok! Lo nya aja sensi!"
Niskala bangkit dan kedua tangannya menggebrak meja dengan keras. "Berani ngelawan sekarang lo ya!"
Aska ikut bangkit, keduanya kini saling menatap tajam. "Lo pikir gue takut?!"
"CUKUP!" tuan Attar memukul meja dengan keras, hingga keduanya terdiam. "Perkara ayam goreng aja kalian mau berkelahi?!"
Tuan Attar memijat pelipisnya yang berdenyut, ia menghela nafas dalam, melirik bergantian kedua anaknya yang masih saling menatap tajam.
Mona terdiam menyaksikan kejadian dihadapannya ini. Situasinya begitu canggung, ia berpikir untuk bangkit dan pergi saja dari ruangan itu, namun sepertinya itu bukan hal yang bagus.
"Aska, minta maaf sama mas mu!" Aska merengut, ia membuang mukanya ke arah yang berlawanan.
"Dan Aksa, daddy minta hargai acara ini. Kamu tau kan ini ulangtahun Aska, setidaknya ...,"
Niskala mengambil jaket jeansnya yang ia hamparkan di sandaran kursi, lalu pergi meninggalkan area ruang makan.
"Aksa! Dengar dulu daddy bicara!" Niskala tak mengindahkan ucapan ayahnya itu, ia terus saja melangkah.
"Aksa!"
"Stop!" teriak Aska, "Daddy stop! Jangan dikejar!" wajahnya memerah, sementara nafasnya memburu. Ia mengepalkan kedua tangannya hingga jarinya mengeras.
Niskala melempar jaketnya ke sembarang arah. Mengambil benda-benda kecil yang tertata di atas nakas dan melemparnya ke dinding.
"SIALAN!"
Tuk. Tuk. Tuk.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari arah luar. Niskala menghela nafasnya, mencoba menenangkan diri.
Tuk. Tuk. Tuk.
Suara ketukan pintu terdengar lagi, kali ini dengan tempo yang lebih cepat dan keras, "Kal? Lo nggak apa-apa?"
Ia memandangi pintu sesaat, lalu menatap ke arah barang-barang yang berserakan secara bergantian.
"Gak apa-apa, masuk aja Gung!"
Kemudian pintu terbuka, menampilkan sosok pemuda bertubuh sedang dengan atasan hitam dan celana jeans sobek di lutut kiri.
Pemuda bergigi kelinci itu masuk ke dalam dan sedikit tercengang dengan pemandangan dihadapannya, "Ini kamar lo macem kapal pecah, gila!" Agung mengambil langkah mundur, "lo gak kesurupan, kan?"
Niskala menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, "Kesurupan! Gue minta sesaji nasi padang pake rendang sama kikil 1!"
"Gila lo! Itu mah malak namanya pe'a!"
Niskala terkekeh mendengarnya, sementara Agung kembali masuk ke dalam dan mendudukkan diri di samping sahabatnya itu.
"Jadi ke ulang taun adek lo?"
Niskala mengangguk, wajahnya menatap langit-langit namun pandangannya kosong.
"Terus kenapa lo bengong gitu? Bukannya lo kangen adek lo?"
"Gue ngancurin acaranya ... "
"Kok bisa? Lo acak-acak apa begimana?"
Niskala bangkit dari posisi tidurnya, kemudian ia mendudukkan diri dan menyandarkan punggungnya pada dinding.
"Biasa, emosi gue kambuh. Gak tau kenapa, rasanya kalo balik ke rumah bikin gue selalu emosi dan ... gak tau lah ..."
Agung mendekat ke arah Niskala dan menepuk pundak sahabatnya itu pelan, "Lo pasti bisa, Kal. Udah tiga taun lo kayak gini."
"Besok lo harus ketemu tante gue lagi buat konsultasi, gimana?" lanjut Agung.
Niskala sedikit meringis, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Gue ... lagi bokek, Gung."
"Ah elah, anak orang kaya tapi gak punya duit. Heran."
"Itu duit bokap gue, bukan punya gue!"
Agung tiba-tiba merangkul Niskala, "Ah elah, becanda doang." Ia memamerkan gigi kelincinya, 'Tenang aja, gak usah mikirin biaya, yang penting lo bantuin gue bikinin lirik lagu hehe."
"Dasar, kesempatan lo!"
Mona masih terdiam di atas kursi sebuah cafe. Ia memutar-mutar ujung sedotan yang berada di dalam minumannya. Pandanganya kosong, ingatannya menerawang jauh tepat pada kejadian beberapa jam lalu.
Gadis itu menopang dagunya, dahinya mengerut, "Niskala ... ternyata bagian dari keluarga itu," gumam Mona, "tapi mereka kenapa gak akur ya? Terus, kok Niskala gak tinggal bareng mereka?"
Mona menggelengkan kepala, menepuk-nepuk dahinya yang nampak panas karena terlalu keras berfikir, "Udah stop Mona, ini bukan urusan lo ok? Masalah lo masih banyak, gak usah ikut campur masalah orang!" ia berbicara pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ponselnya berdering, tanda sebuah pesan masuk. Diraihnya benda pipih itu yang tergeletak di atas meja, kemudian ia membuka pesan yang masuk.
Di dalam pesan tersebut tertulis bahwa Kinar, sahabatnya, mengajak ia besok untuk pergi berlibur. Tanpa pikir panjang Mona langsung menyetujuinya, kebetulan besok tak ada jadwal bimbingan.
"Daripada gue mumet-mumet mikirin masalah orang, mending liburan! Healing time!" serunya dengan antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lovable, Mona | (HANLICE)
FanfictionTuan Attar : "Mona, kalau diliat-liat kamu masuk kriteria calon istri saya." Mas Aksa : "Mon, lo mau kan jadi cewe gue?" Aska : "Kak Mona, kakak tipe cewe idaman aku. Mau gak jadi pendamping aku?"