"Ma, Pa! Azza pamit dulu ya, do'akan Azza." Aku hanya mampu mengucapkan kata itu, karena air mata sudah lebih dulu jatuh. Sulit rasanya menahan tangis, berat untuk pergi, bahkan untuk cita-citaku sendiri.
"Iya Azza, sekolah yang bener, jadi anak yang salihah, maaf Bapak sama Mamamu tidak bisa membekalimu apa-apa kecuali do'a." tutur Bapak sambil menepuk pundakku, tidak dengan Mama yang sudah lebih dulu masuk kedalam rumah, disertai tangisnya. Ya, aku tahu Mama pasti berat melepaskan anak perempuan yang di sayanginya. Sebut saja aku anak tengah dari tiga bersaudara, dengan kakak laki-laki dan satu adik perempuan.
Tidak banyak kata yang terucap saat aku berpamitan dengan Bapak dan Mama, kecuali air mata yang mengalir dengan derasnya tanpa aku minta.
Aku pamit dengan bekal seribu impian, menuju universitas yang aku ketahui hanya lewat media sosial. Aku mencari universitas yang jauh dari tempat tinggalku, jauh dari Kotaku.
"Brmmm... brmmm..." Bus demi bus sudah aku naiki
"Ya Allah, apakah aku akan baik-baik saja?" gumamku, sembari kusandarkan tubuh ini dan kupejamkan mata berharap ada jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak LANGKAH PengukirInspirasi
De TodoTentunya cerita hidup tidak semulus permukaan kaca. Buktinya, di tengah jalan aku berjuang untuk meraih impian, aku terbuai dengan yang namanya cinta oleh dua pria. Putra seorang polisi yang bercita-cita menjadi kiyai, dan putra seorang petani yang...