Bulan sudah singgah di langit. Memberi secercah cahaya di kegelapan. Rumah-rumah sudah memadamkan lentera dan menutup pintu. Mereka ingin tidur agar esoknya bisa bekerja untuk menafkahi keluarganya. Berbeda dengan lelaki berkulit hitam ini, seakan melupakan pesan dari tabib, dia nekat keluar untuk mencari sesuap nasi.
"Kang, haruskah malam ini kamu keluar?" tanya sang istri sambil menatap wajah lelaki dengan bulu yang menghiasi dagu dan bawah hidung.
"Kamu tahu sendiri, bagaimana sikap juragan kemarin? Dia datang ke sini sambil marah-marah karena sehari tak mencari bekicot. Kalau bukan demi kamu dan anak kita, lebih baik aku kelaparan daripada bekerja pada orang seperti itu," ujar sang suami sambil mengecek peralatan mencari bekicotnya. Hanya ember dan lentera yang dia bawa untuk mencari bekicot di tengah kegelapan sawah. Tak lupa membawa pisau untuk menjaga keselamatan nyawa.
"Tapi kata tabib tadi pagi, kita harus tetap berada di rumah untuk berjaga. Karena kita tak tahu pasti kapan dia datang." sang istri masih mencoba mencegah suaminya.
"Tenang saja. Tidak akan terjadi apa-apa, peluk anak kita saat tidur dan jangan pernah meninggalkan anak kita sendirian. Satu lagi, lentera rumah jangan sampai mati. Berharaplah tidak terjadi apa-apa hingga besok pagi." sang suami melenggang pergi setelah menyampaikan pesan. Walaupun dalam hati masih was-was setelah apa yang terjadi. Sang istri menghela napas setelah tidak lagi melihat suaminya. Lalu dia menutup pintu rapat-rapat, berharap tidak ada yang terlambat.
Sang suami melangkah menuju pekarangan sawah, melewati beberapa rumah, dan berhenti sejenak untuk mencomot pisang goreng di gardu terdekat.
"Mau ke mana Pri?" tanya salah satu warga yang duduk di gardu sambil menyeruput kopi.
"Biasa Kang, cari bekicot. Sejak pagi, juragan tidak berhenti bicara," jawab laki-laki bernama Supri ini.
"Berani ya Pri? Meninggalkan anak dan istri di rumah." sela laki-laki berambut gondrong.
"Kalau bukan demi menghidupi keluarga, ya saya tidak mau Kang. Saya pergi dulu ya." Supri meninggalkan beberapa warga di gardu yang sedang bercanda gurau. Bukan tak tertarik untuk bergabung, tapi tuntutan tanggung jawab yang tak ingin berkabung. Supri sudah sampai di sawah dan mulai menyenteri pinggiran parit. Hewan berlendir dan berwarna kehitaman selalu menjadi temannya pada malam hari.
Tiba-tiba semak-semak pinggir sawah bergerak, membuat cahaya lentera Supri mengarah ke sana.
"Siapa di sana?" tanya Supri. Tidak ada jawaban. Semakin lama, semak-semak bergerak semakin cepat. Membuat jantung Supri berdegup kencang, keringat di dahi keluar tanpa permisi. Kakinya mulai melangkah walau bergetar hebat, membuat lenteranya ikut berdendang. Ketika semak-semak berada 5 meter di depan Supri, semak-semak berhenti bergerak. Seolah-olah mengerti ada seseorang yang mengawasinya sekarang.
"Meooong!" kucing melompat dari balik semak-semak membuat Supri terkejut setengah mati. Hingga akhirnya dia marah-marah tak karuan. Supri berbalik menghadap sawah. Belum selesai jantungnya bergoyang, kini di depannya ada seseorang. Bukan kucing atau anjing, dia makhluk seperti Supri, hanya saja dia lebih kecil. Cahaya lentera Supri mengarah pada makhluk ini. Tangannya berayun-ayun, tapi anehnya dia tidak memiliki kepala. Darah mengalir dari lehernya.
Leher Supri tercekat, dia tak bisa berkata apa-apa. Matanya terus melotot. Jantung dan kakinya bergetar seperti kesetrum. Sebelum akhirnya dia pingsan setelah membuat celananya basah.
***
Lagi-lagi warga berkumpul di tempat ini. Banyak pertanyaan dan masalah yang tak kunjung menemukan solusi. Kali ini mereka berkumpul dengan masalah yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mustaka Ke-13 (Teaser)
HorrorSetiap malam Jumat Legi di desa Kantil, tembang Asmarandana mulai terdengar, maka dimulailah malam-malam penuh teror yang mencekam. Pintu-pintu mulai diketuk dan anak-anak kecil mulai hilang. Kepala anak-anak itu dipenggal untuk dijadikan tumbal pes...