Desa Kantil

1.3K 132 11
                                    

     Seorang perempuan terus berlari memecah keheningan malam dan menembus kegelapan. Entah sudah berapa kali dia terjatuh atau tersandung batu. Namun hal itu, tak membuatnya untuk berhenti. Dia tak peduli dengan kakinya yang lecet-lecet karena menginjak benda tajam. Dia terus berlari dengan tujuan meninggalkan desanya. Kemudian berharap mendapatkan kehidupan di desa sebelah setelah menghabisi seseorang di tempat tinggalnya. Penyesalan dan kepuasan menjadi satu. Mendampingi dirinya dalam hal menghilangkan diri.

     Ketika sang surya mulai menampakkan wujudnya, perempuan itu memperlambat langkahnya. Terseret-seret masuk ke sebuah desa. Kantong matanya menghitam. Tak lama kemudian, keadaan di sana menjadi gaduh ketika perempuan itu pingsan di tengah jalan. Beberapa warga langsung memboyongnya ke rumah tabib.

     "Syukurlah, perempuan itu sudah sadar. Saya meminta dua orang saja untuk masuk ke dalam. Jangan banyak-banyak," ujar tabib itu setelah beberapa saat membuat warga cemas. Dua orang wanita masuk tergesa-gesa ingin melihat keadaan perempuan yang telah dibawanya.

    "Saya di mana?" tanya perempuan itu.

   "Kamu berada di rumah tabib ini," jawab salah satu wanita sambil menunjuk laki-laki yang disebut tabib.

     "Kamu siapa? Sepertinya kamu bukan warga sini." tanya tabib.

     "Saya Sukesih, warga Desa Wono. Rumah saya dirampok. Sudah semalaman saya berlari, menghindari perampok itu. Saya ingin dibunuh untuk menghilangkan saksi." jawab Sukesih berbohong. Tidak mungkin dia akan mengaku sebagai pelaku pembunuhan.

     “Astaga! Malang sekali nasib kamu. Kamu punya saudara di sini?” tanya salah satu wanita yang bertubuh gemuk. Sukesih hanya menggelengkan kepala.

     “Baiklah, kalau begitu kamu bisa tinggal di rumah saya untuk sementara waktu. Nanti saya carikan pekerjaan di sini untuk kamu.” ujar wanita yang agak kurus. Sukesih mengangguk. Dia senang, setidaknya dia bisa makan dan minum di sini.

     Warga menyerbu Sukesih dengan segala pertanyaan setelah keluar dari rumah tabib. Alih-alih bisa menjawab, Sukesih hanya tertunduk lemas dibopong kedua wanita tadi.

     “Ini rumah saya. Walaupun kecil tapi kamu bisa melindungi diri dari panas dan hujan. Kalau ada apa-apa silakan mengunjungi rumah yang itu. Saya tinggal di sana. Saya titip rumah ini untuk kamu ya,” lagi-lagi Sukesih hanya mengangguk.

     “Permisi Bu. Nama Ibu siapa?” tanya Sukesih sebelum masuk ke rumah barunya.

     “Panggil saja Bu Sri.” jawab Bu Sri.

     “Terima kasih banyak Bu.” Bu Sri mengangguk sambil tersenyum. Entah angin apa yang membuat Bu Sri percaya pada pertemuan pertama. Sukesih bersyukur karena dia masih bisa menemukan kebaikan pada zaman yang keras sekali pun.

     Sukesih masuk pada rumah barunya, lembab dan banyak sarang laba-laba. Pasti jarang dibersihkan oleh Bu Sri. Tidak masalah, rumah ini lebih baik daripada rumah lamanya. Namun Sukesih tidak berniat membersihkannya, mungkin besok atau lusa. Tubuhnya terlalu lelah untuk melakukan pekerjaan berat. Sukesih duduk di kursi kayu dan meluruskan kakinya. Sesekali dia mengerjapkan matanya saat kantuk kembali menyerang.

***


   Kini, Desa Kantil menjadi tempat tinggal Sukesih yang baru. Tanpa teman, tanpa keluarga, dia bertekad melarikan diri dari kenyataan dan berusaha menutupinya. Sejak awal dia suka dengan kehidupan Desa Kantil. Desa yang aman damai tanpa gangguan dari apa pun. Bukannya Desa Wono tidak aman tetapi ada kesengsaraan tersendiri yang ditanam di sana. Menimbulkan keresahan di hati Sukesih. Kemudian menjadikan Sukesih sebagai setan hanya karena cintanya ditolak.

     Walaupun dia berhasil melarikan diri tetapi hatinya tetap berkata jujur. Ada rasa penyesalan dan ketakutan di hatinya. Dia takut bagaimana jika kedoknya terbongkar di sini? Dia tak memiliki siapa pun yang bisa melindunginya. Alasan patah hati juga tak bisa menjadi tamengnya. Apakah dia akan diusir dari sini? Siapa yang akan menerima seorang pembunuh untuk tinggal bersamanya? Rasanya ada rasa pengkhianatan kepada warga desa ini saat mengingat dirinya seorang pembunuh.

     Sukesih mengerjap-ngerjapkan matanya. Setengah hari ia habiskan duduk di kursi kayu. Kini saatnya dia bangun dalam kegelapan. Matahari sudah tenggelam dan keadaan rumah menjadi gelap. Dengan tergopoh-gopoh Sukesih mengambil lentera di pintu rumah. Dia membuka pintu lalu pergi ke rumah Bu Sri. Baru beberapa langkah menuju rummah Bu Sri, banyak suara yang terdengar dari sana. Sepertinya keadaannya ramai sekali. Benar saja, banyak ibu-ibu yang berkumpul untuk sekadar berbincang.

     “Permisi, apakah saya boleh meminta tolong untuk menghidupkan lentera ini?” perkataan Sukesih membuat ibu-ibu menutup mulutnya. Mereka melihat Sukesih, seorang gadis yang sempat pingsan tadi pagi.

     Bu Sri mengangguk dan mengambil lentera dari tangan Sukesih. Sedangkan ibu-ibu lainnya berusaha menyapa gadis ini dan memberikan sedikit pertanyaan.

     “Duduklah di sini Nak.” ujar salah satu ibu-ibu di sana. Membuat Sukesih duduk di antara mereka. Awalnya Sukesih merasa senang, dia tidak merasa kesepian lagi. Keberadaannya sudah diterima oleh orang sekitar. Namun sayangnya, pertanyaan ibu-ibu mulai membuat Sukesih bingung. Mereka meminta Sukesih bercerita tentang kehidupannya, bagaimana dia sampai di sini, kenapa dia harus dirampok, dan banyak lagi. Sukesih benci pertanyaan itu, dia tak ingin membahas lagi kehidupannya di sana.

     “Maaf Bu, saya harus membersihkan rumah terlebih dahulu,” Sukesih pamit setelah menerima lentera yang sudah hidup.

     “Kenapa terburu-buru? Duduklah bersama kami, kamu bisa menceritakan kisahmu di sini.” Oooh ... ayolah dia benci semua ini. Sukesih hanya tersenyum singkat dan meninggalkan ibu-ibu bersama rasa penasaran yang belum terpecahkan.

     Sukesih menggantung lentera di depan pintu. Kemudian kembali duduk di beranda rumah. Dia tak ingin masuk dan membersihkan rumahnya. Tatapannya kosong sambil memikirkan hal yang ada di sini. Sukesih ke sini tidak untuk melakukan acara tanya jawab tentang kebohongannya. Atau mengarang cerita yang meembuat warga di sini percaya. Dia hanya ingin meninggalkan kenangan busuknya di Desa Wono lalu hidup di Desa Kantil.

     “Maaf Sukesih, aku tidak bisa mencintaimu,”

     Sukesih tak tahu dari mana kata-kata Darman itu muncul kembali. Desa Wono memang membuatnya kembali terpuruk. Raut wajahnya yang sendu berubah menjadi amarah. Dia memeras-meras bajunya sendiri.

     “Kenapa kau menolakku? Kau tak sudi menikah dengan gadis miskin sepertiku?”

     “Sepertinya, keputusan untuk membunuhmu adalah pilihan yang tepat. Lebih baik tidak memilikimu daripada hatiku tersayat-sayat setiap hari,” gumam Sukesih. Berusaha membela diri di tengah kesendirian.

     “Tapi, bagaimana kalau mereka menemukanku? Lalu menangkapku sebagai pembunuh?” Karma yang seharusnya terjadi, sudah dia pikirkan terlebih dahulu. Kini mulutnya tak berhenti menggigit kukunya. Pikirannya sudah tidak karu-karuan. Kepuasan, ketakutan, dan penyesalan menjadi satu.

     “Kenapa aku harus memikirkan semua itu? Aku sudah benar tinggal di sini. Aku yakin, kedokku tidak akan terbongkar jika aku tak berbicara banyak pada semua orang.” Senyuman jahatnya kembali terukir. Berusaha menepis fakta-fakta di sekitarnya. Kini pikirannya beralih menghitung hari dan menyadari bahwa hari ini, malam Jumat Legi. Malam yang selalu ia sukai daripada malam-malam lainnya. Entahlah, tidak ada alasan khusus mengenai hal ini. Namun yang pasti, pada malam ini pula dia berada di desa baru. Dia harus bisaa melupakan semuanya.

     Untuk mengusir kesepiannya, dia menyanyikan tembangnya sendiri. Tembang yang membawa kematian. Sukesih tak tahu cerita apa yang akan dibawakan oleh tembang ini. Kebahagiaan atau malah kesengsaraan. Tidak ada yang tahu.

***

Mustaka Ke-13 (Teaser)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang