12. Pernyataan?

2.3K 170 39
                                    

Alya yang sedang berdiri dibalkon apartmentnya berjalan kearah pintu apartment. Untuk pertama kalinya, ia mendengar bel apartmentnya berbunyi.

Ia membuka pintunya dan terkejut melihat kehadiran Sean yang datang seorang diri dengan rahang yang mengeras.

Tanpa disuruh masuk, Sean langsung melangkah maju dan sedikit mendorong Alya sebelum menutup pintu kembali.

"K-Kak Sean? Kok bisa tau aku tinggal disini?" Kaget Alya, ia baru menemukan suaranya sendiri.

"Harusnya Kakak yang marah dulu. Ditunggu di parkiran malah gak nongol-nongol." Ucapnya sambil bersidekap menatap Alya kesal.

Alya jadi merasa bersalah dan gugup. Bukannya apa-apa, tapi ia sungguh lupa jika Sean menunggunya di parkiran. Pikirannya sangat banyak saat itu. Bahkan ia baru saja pergi dari makam sekitar jam 6 sore.

Sean sudah menunggunya berjam-jam.
Yah, untuk hal ini Alya akui dia sudah kelewatan.

"Maaf. Alya lupa."

Sean menganga lebar.
Lupa?

"Kakak jangan kaget gitu dong." Ucap Alya membuat Sean menutup mulutnya kembali sambil berdeham.

"Alasanmu benar-benar..."

"Beneran kok, Kak! Alya gak bohong."

Sean berjalan melewati Alya menuju ruang tamu. Alya mengikutinya dari belakang.
Sean duduk di sofa sambil memandang sekeliling. Apartment yang sederhana.

Hanya ada satu pintu kamar, pintu balkon, ruang tamu dan dapur. Minimalis tapi lebih dari cukup untuk satu orang.

"Kak Sean tau darimana aku tinggal disini?"
Tanya Alya sambil berjalan ke arah mini dapur yang jaraknya cukup dekat dengan ruang tamu.

Mereka bisa berbicara santai karena dapur hanya disekat meja bar kecil, tak ada sekat yang membuat ruangan terlihat lebih luas.

"Tadi Kakak kerumah kamu. Dan pelayan disana kasih tahu alamat ini."

Alya mengangguk.
Ia menuangkan jus jeruk dan menaruh es yang sudah dihancurkan ke dalam 2 gelas.

"Kenapa kamu milih tidur disini?"
Tanya Sean kala Alya sudah duduk disampingnya, di satu-satunya sofa yang ada diruang tamu ini yang menghadap ke TV yang menggantung didinding.

"Hanya mencari suasana baru."

"Kakak yakin bukan hanya itu alasannya."

Alya sempat terdiam dan memandang kearah meja kaca didepannya.
Jemarinya saling bertautan menandakan ketidaknyamanan Alya akan percakapan ini.

Sean memegang bahu Alya yang terasa tegang. Alya menghela napasnya. "Aku butuh waktu dan jarak dari mama."

"Tunggu, kamu tahu keberadaan Tante Ericka sekarang?"

Alya menatap Sean. "Dia pasti dirumah."

"Engga. Tadi Kakak kesana, para pelayan bilang Mama kamu belum pulang sejak kemarin."

"Dia selalu begitu, Kak. Dia gak pernah pulang kerumah. Aku gak aneh sama hal itu."

Sean mengerutkan dahinya melihat sekitar dahi Alya yang mengerut. Kerutan yang biasanya terlihat ketika seseorang sedang berpikir keras dan khawatir. Tapi, kenapa Alya tidak terlalu takut akan Mamanya yang belum pulang?

"Tapi kamu kaya mikirnya berlebihan. Ada apa?"

"Enggak ada apa-apa. Alya cuman mikir perkataan Tante Donita waktu dirumah sakit kemaren. Tapi, Kakak pernah bilang kalau aku gak boleh nuduh orang kan?"

STILLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang