Aku membaca berulang kali pengumuman yang ada di surel pagi itu. Sebuah kesempatan hampir saja lenyap. Ternyata, pendaftaran semester tidak jatuh pada tanggal 24 Januari, melainkan 3 hari sebelumnya. Padahal, aku sudah memesan tiket dari jauh-jauh hari dari hasil bertanya langsung pada resepsionis kampus:
"There will be no event until 25, sir. "
Ungkap sang resepsionis dengan yakin di hari itu, membuatku tak ragu pulang sementara ke tanah air. Tapi, hari ini, yang membuat cemasku semakin tak kentara, bukankah lain ladang lain ikannya? Memang di Indonesia semua hal bisa dikerjakan dengan santai, bagaimana dengan negeri tetangga? Acara daftar ulang memang tidak diselenggarakan oleh pihak kampus di sana secara massal, seperti yang biasa terjadi di negaraku. Registrasi mahasiswa adalah hal privat bagi mereka, sehingga setiap harinya, nama-nama yang tercantum dalam pengumuman sangat diwajibkan untuk bertatap muka tepat pada tanggalnya.
Dengan segera, kumohon pada ibuku untuk membantu uang tiket pesawat, karena pengumuman yang sangat mendadak tersebut. Setelah lima jam menerawang dan memilih daftar jam penerbangan di situs penerbangan, aku harus puas menaruh harapan pada jadwal pesawat yang berangkat dini hari dan transit selama lima jam di sebuah negeri perbatasan antara Indonesia ke Malaysia. Selain karena harga tiket jadwal lain lebih menguras kantong, jeda perhentian maskapai lain pun rata-rata memakan waktu lebih dari 10 jam. Tidak mungkin lagi kukeluarkan uang hanya untuk beberapa lembar pakaian dan makanan selama di jalan demi menghadapi waktu registrasi yang semakin dekat.
***
Hari ini adalah Rabu pukul setengah 12 malam, dimana bandara begitu senyap, dengan ruang lobi dikerubungi oleh orang-orang yang sedang tidur di dalam kantungnya masing-masing. Aku sudah cukup tidur selama dua setengah jam di dalam mobil travel shift terakhir, dimana penumpangnya pun tak lebih dari lima orang. Untungnya, petugas penukaran tiket sudah siap di mejanya, meski hanya ada 2 orang. Segera saja kudatangi, dengan membawa kartu identitas dan paspor, berhubung tak ada orang yang mengantri untuk jurusan yang kutumpangi.
Petugas tiket jurusan pesawat "Glory Brunei" ini rupanya memiliki prosedur pengecekan yang berbeda dengan layanan penerbangan kebanyakan. Ketika aku menyebutkan tentang status mahasiswa luar negeri, mereka memintaku untuk mengeluarkan lembar visa, yang biasanya tidak diminta diminta maskapai lainnya. Lantaran aku sedang merasa lapar, mau tak mau dengan segera kugeledah sendiri tasku untuk mengambil visaku yang sengaja diselipkan sebelumnya. Mereka betul-betul membaca huruf demi huruf lembar syarat dan ketentuan visa, yang menurutku cukup menyita waktu.
Memang nasib orang yang kebagian pesawat dini hari pasti punya perbedaan signifikan dengan pemilik tiket maskapai jam kerja, sampai-sampai aku mulai tak sabar kapan mereka akan mengembalikan kertas itu padaku. Perutku lapar sudah tak tahan ingin mengudap.
"Permisi Mas Mizan, saya sudah verifikasi tiket dan visa. Nanti mas langsung ke gate G. Misalkan mas lapar, disana masih banyak restoran dan kantin buka kok.", terang petugas check baggage sembari memberikan tiket resmi. Tanpa basa-basi, segera saja kurapikan tiket dan bergegas mencari restoran dan kafe.
Selalu ada dua atau banyak sisi untuk suatu situasi. Biasanya, bila harus melewati gerbang scanning aku harus sigap mencabut ikat pinggang, tas, telepon genggam, hingga bongkar pasang tas sambil diburu-buru waktu karena mengantri. Berhubung penerbangan yang dituju bukan waktu penerbangan favorit banyak orang, aku bisa santai melewati bilik scanning seorang diri. Ya, benar-benar seorang diri karena tak ada seorang pun di blik itu kecuali aku dan para petugas bea cukai. Rasanya, meski sekujur tubuh diperiksa, tapi rasanya seperti mendapat karcis VIP untuk bisa mengakses gerai-gerai yang masih buka di bandara.
Waktu masih jam 1 malam, sehingga masih tersisa banyak waktu menuju keberngakatan setengah empat. Udara yang sangat dingin itu memaksa nafsu makanku mencari hidangan berkuah. Tapi, sepanjang jalan menyusuri gerai bandara, aku tak temukan resto dengan makanan berkuah buka. Yang aku lihat hanya gerai roti, kue, dan minuman dingin yang masih buka melewati tengah malam. Semestinya, lounge bandara buka dua puluh empat jam. Aku tak peduli dimanapun tempatnya, kalau badan terancam menggigil, soto atau mie kuah wajib terhidang.
Benar saja dugaanku, rupanya lounge masih buka. Hanya saja, tentu hidangan lebih terbatas dan penjaga lounge hanya ada lima orang. Yang membuat kesal, harga tarif lounge tengah malam mencapai tiga ratus ribu rupiah. Memang, aku yang keterlaluan, demi selera makanan berkuah, uang bekal pun rela dihanguskan untuk numpang makan di lounge bandara. Nasib....
Tak ada soto, tom yam pun jadi. Yang penting berkuah dan menghangatkan. Sembari menikmati olahan ikan dan baso cumi ini, aku menerawang kembali dokumen-dokumen yang diperlukan untuk perjalanan. Aku masih ingat usulan yang dipaparkan oleh email: every student should present at 21-25 January 2010. Hari ini tanggal kalender masih ada di angka 24, tepat awal pergantian hari. Semoga saja siang ini, paling tidak sebelum universitas ditutup, registrasi masih bisa dilaksanakan. Ah, sepertinya waktu masih panjang. Kenapa sandaran bangku ini terasa hangat sekali? Mataku mulai lelah, mungkin setelah piring ini ku kosongkan, rebahan sepuluh-dua puluh menit bisa membuat nyaman. Paling tidak, untuk sesaat saja.
***
YOU ARE READING
Tas Selempang di Bangku Ruang Tunggu Bandara
Short StoryMizan terdesak untuk memesan tiket pesawat, lantaran kampusnya yang berada di negara tetangga ternyata mengumumkan adanya percepatan registrasi mahasiswa. Di tengah masa menunggu bandara, Mizan yang sangat lapar kemudian singgah di salah satu kantin...