Jam 3 pagi lebih seperapat! Itu artinya hanya tersisa 15 menit menuju keberangkatan. Astaghfirullah, mengapa aku teledor sekali? Semestinya alarm jam kupasang. Lagi-lagi, aku lupa, bahwa tertidur di bangku berbentuk sofa, bisa saja membuat mata baru kembali terbuka saat fajar menyingsing. Aku tak boleh terlambat: tas ransel, koper, tas selempang, dan jaket tebal segera saja ku boyong menuju gate pesawat. Lounge ini ternyata berjarak lima ratus meter dari Gate G. Mengapa aku mudah sekali tergiur pesona makanan berkuah? Ya, Allah, maafkan hamba-Mu yang teledor ini. Mudah sekali diri ini lupa bahwa ibu pernah cerita tentang kelalaian Nabi Yahya: tertidur panjang setelah makan banyak. Semestinya, aku langsung berpikir panjang setelah tiga mangkok tom yam habis dilahap.
Kantukku masih tersisa, namun adrenalin terus memompa agar badan ini segera tiba di kursi pesawat Glory Brunei. Kalau kali ini aku kehabisan pesawat, bisa-bisa ibu murka karena ulahku melalaikan waktu. Untung saja, gerbang keberangkatan G masih terbuka. Segera saja kusodorkan tiket dan paspor. Aku sampai di kursi pesanan tepat lima menit sebelum pesawat terkunci rapat.
Tepat saat pesawat hendak lepas landas, aku mengambil ancang-ancang untuk mengambil gawai kesayanganku : Ipod kesayangan berwarna coklat dan headset. Tetapi, panik mulai menyerang, saat aku menyadari bahwa apa yang kucari ternyata tidak ada, karena tas selempang yang terbawa adalah milik orang lain. Tas milikku yang berwarna hita itu telah tertukar dengan tas berwarna hitam kemerahan. Astaghfirullah, lagi-lagi karena kelalaian, kekacauan kembali menghampir. Apalagi, dalam tas selempang itu ada iPOD, kartu pelajar dan kunci asramaku!
Sepanjang pesawat menempuh perjalanan lintas udara, pikiranku gamang. Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan setibanya di Malaysia nanti, sementara kartu pelajar hilang tanpa bayang. Yang jelas, transit di Brunei adalah sebuah keharusan karena hanya armada pesawat ini yang tersisa. Pikiran-pikiran negatif mulai menyusup di otak; apa jangan-jangan kegagalan dalam pendaftaran tadi merupakan sebuah takdir? Mungkin, sesampainya di bandara transit Brunei, aku sempatkan untuk shalat shubuh beserta dua rakaat shalat sunnah qabliyah. Aku harus yakin, bahwa Allah punya rencana dibalik kelalaian ini.
Aku coba ingat kembali situasi yang terjadi saat di lounge tadi. Selain aku, ada enam orang yang singgah, dan tas selempang kusimpan tergantung di pucuk atas bangku sofa. Kukira, ada seseorang yang duduk di belakang bangkuku salah mengambil. Selain mereka-reka ulang kejadian sebelum panik mengejar pesawat, rasa penasaran mulai menggodaku untuk merogoh kembali isi tas selempang beda warna ini. Tak ada kartu pelajar, tak ada kunci asrama, maupun I-POD. Sepanjang waktu menerawang isi tas, terlihat buku anggaran, pena, jam tangan, dan sepucuk surat. Sebenarnya, aku tak ingin tenggelam dalam rasa ingin tahu. Tapi mengapa ingin sekali rasanya kubuka surat itu, padahal bukan milikku? Kalau boleh kulampiaskan kejahilanku lebih jauh, bisa jadi mungkin tas ini ditakdirkan untuk membawa pada suatu kejutan tak terduga. Di sisi lain, aku cukup lega bahwa isi tas selempang ini bukan kokain, heroin, atau ganja. Alamat dipecat jadi anak kalau tersangkut di bandara karena 'salah bawa obat-obatan'. Lalu, bagaimana ya untuk orang yang salah membawa tas selempang itu? Apa besok dia mendadak kaya karena menjual IPOD bekas orang? Apa besok dia atau anaknya berhasil masuk universitas karena telah mengantongi kartu pelajar? Atau, jangan-jangan dia adalah seorang oknum yang diutus pihak asrama agar asrama kembali diakuisisi? Naudzubillah.
Duhai pembawa tasku, siapa gerangan dirimu? Apa kau merasakan perasaan yang sama, karena sepucuk surat dan barang-barang berhargamu ada di tanganku? Baiklah nyonya,....bagaimana kalau kuingat dirimu berdasarkan nama yang tertera di buku anggaran? Nyonya Fadia S, yang lahir empat puluh lima tahun silam, -tepat seperti yang tertulis di halaman awal buku anggaran milikmu, nyonya-, apakah kau sedang dilanda kebingungan karena tas ini mampir ke tanganku?
Mohon maaf, nyonya. Izinkan aku membaca suratmu, dan aku coba mengerti -seperti isi lagunya Kangen milik Dewa 19- :
Ibuku Fadia Sulistiani yang aku sayangi
Ini Mesrani, anak yang selalu merindukan kepulanganmu di akhir masa kerja tahunan. Aku ingin berbagi cerita, ibu. Tepat sebulan lalu, aku bertemu dengan seorang pria bernama Misykat. Ia begitu tampan dan memikat diriku. Nyatanya, ia juga terpikat akan diriku, hingga belajar pun terganggu. Setiap malam, pesan-pesannya selalu membuatku rindu tak kepayang.
Di suatu malam aku bertanya tentang makanan kesukaannya, ia nyatakan jelas perasaannya padaku. Tak butuh lama bagiku untuk menyanggupi perasaannya. Sungguh, Bu, aku tak berniat melanggar pesan-pesanmu agar selalu menjaga diri. Tapi, bagaimana aku sanggup memayungi hati ini dari rasa sepi, sementara tetangga-tetangga mulai sering bergunjing tentang kita, dan kerap memandangku sinis setiap kali aku minta bantuan. Hanya Misykat yang mampu mengusir laraku.
Suatu sore, ia bertanya padaku, bilakah rumah kita sepi hari ini? Tanpa berpikir panjang, aku mengangguk. Aku tahu, ibu paling tidak suka kalau aku biarkan laki-laki tak dikenal masuk rumah. Tapi, saat itu aku merasa tak sanggup lagi menepi dari rasa sepi. Misykat masuk rumah, dan kusuguhkan teh hangat untuknya. Setelah beberapa teguk habis, rasa dingin karena kaca jendela berlubang membuat dingin semakin tak kentara. Aku mendekat bersandar pada Misykat, entah kenapa terasa begitu hangat. Tapi, itulah dosa terbesarku malam itu.
Bu, hari ini aku begitu sedih, Aku kira awalnya hanya sakit masuk angin, ternyata garis dua tersemat di test pack yang dibeli di apotek terdekat. Aku tak tahu harus bagaimana, sementara Misykat perlahan menjauh dariku setelah tahu semua ini.
Bu, maafkan anakmu yang sering lalai atas pesanmu karena sepi yang menyiksa.
Tertanda,
anak semata wayangmu,
Mesrani Ishar Paramitha.
Terkejut. Mulutku menganga membaca isi surat yang mungkin membuat seorang ibu sangat kalut. Aku tak menyangka, akan mendapatkan surat seperti ini. Kukira, hamil di luar nikah hanya fenomena dalam berita dan adegan dalam film televisi. Dengan adanya surat ini, isu pergaulan bebas itu memang nyata adanya, berikut dengan segala hitam putih yang ada di baliknya. Jika aku memang adalah seorang nyonya Fadia, mungkin memilih murka sejadi-jadinya, tetapi memaafkan setelahnya. Bagaimanapun, gadis yang bernama Mesrani ini adalah korban dari situasi kesendirian akibat ditinggal sang ibu.
Aku jadi merenung. Bukan tidak mungkin aku akan jadi seorang Misykat atau Mesrani, andaikata ibuku adalah seseorang bernama Fadia. Tapi andaikata benar aku jadi Mesrani, mungkin bila dingin menyerang seusai hujan, yang akan dicari adalah gerobak soto dan mie pangsit. Karena aku sendiri terlalu sibuk dengan cita-cita, mungkin takkan berpikir sama untuk melampiaskan rasa sepi dengan lawan jenis. Lebih baik, hangatkan perut terlebih dahulu daripada berharap pada orang yang ingin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Bagiku, perjalanan belajar di luar negeri ini terlalu sayang untuk dilewatkan hanya demi jadwal berkencan sepertimu, Mesrani. Duhai ibu Fadia, yang menjadi tujuan dari surat ini, apakah kalut masih bersarang dalam hatimu? Semoga saja, Mesrani tak lagi terserang sepi, meski kau datang padanya dengan mengemban murka.
YOU ARE READING
Tas Selempang di Bangku Ruang Tunggu Bandara
Short StoryMizan terdesak untuk memesan tiket pesawat, lantaran kampusnya yang berada di negara tetangga ternyata mengumumkan adanya percepatan registrasi mahasiswa. Di tengah masa menunggu bandara, Mizan yang sangat lapar kemudian singgah di salah satu kantin...