Dua Puluh Empat

2.9K 574 85
                                    

Sebagai seorang direktur perusahaan konstruksi, Francis Indrajaya sering berada di luar kota. Di awal kariernya, dia terpaksa menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya, Ariella, yang kemudian dia jadikan istri. Setelah putra mereka lahir pun sesekali Francis masih harus berada jauh dari keluarganya karena proyek yang dihadapinya tidak selalu memungkinkan untuk mengajak keluarga tinggal bersama. Tapi tahun depan, dia akan fokus di Jakarta sehingga bisa memiliki waktu bersama dengan keluarganya.

Akan tetapi untuk kali ini sepertinya ada yang dengan sengaja memanfaatkan lokasi kerja ayahnya yang nun jauh di sana untuk melarikan diri. Dini hari, saat Francis sedang bersiap untuk menunaikan ibadah, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Rumah yang disediakan oleh perusahaan untuk karyawan dengan level tertentu ini jarang sekali mendapatkan pengunjung. Maka ketika Francis membuka pintu dan mendapati putranya berdiri dengan senyum namun wajah lelah, Francis merasa ada yang salah.

Seminggu tinggal bersama ayahnya, Michael tidak menceritakan apa-apa. Dia hanya bilang bahwa dia butuh suasana baru dan sedang sumpek di Jakarta. Francis membiarkan Michael melakukan apa yang dia inginkan. Toh sepertinya Michael pun tetap bekerja, membersihkan rumah, kadang memasak hal sederhana, juga menemani ayahnya. Sikapnya biasa saja.

"Hey, bangun," Francis menepuk pundak Michael yang masih tertidur. Ini hari Minggu. Usai Subuh berjamaah tadi, Michael sengaja tidur kembali. "Ayo, mau sarapan apa?"

Michael menggumam tidak jelas dan kembali membenamkan wajah di bantal.

"Michael," panggil ayahnya lagi. "Bangun!"

Francis menarik selimut hingga Michael yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos tanpa lengan, langsung kedinginan.

"Ahhh, iya, Pa, iyaaa," Michael duduk di tempat tidur dengan wajah kusut.

"Mama minta ditelepon kalau kamu sudah bangun. Ayo," Francis menarik tangan putranya agar turun dari tempat tidur. Michael mengikuti ayahnya dengan sempoyongan. Dia mencuci wajahnya agar lebih segar lalu duduk di dapur.

"Papa bikin omelet, nasi goreng. Minumnya kamu bikin sendiri. Mau kopi apa teh?"

"Kopi aja," Michael mengambil gelas lalu mulai meracik kopi.

Saat Michael sedang meracik kopi dalam diam, ayahnya yang berada di belakangnya tiba-tiba berucap. "Kamu putus sama Marshella?"

"Hah?!" Michael berteriak lebih keras dari yang dia duga. "Kok Papa mikir begitu?"

"Kamu tiba-tiba nyamperin Papa yang lagi di Jawa Tengah, pake mobil, gak bilang-bilang. Di sini cuma diem, kerja. Ditambah lagi tadi malam Mama telepon. Marshella nanyain kamu dimana."

"Gak usah dibahas lah, Pa. Pusing," Michael menyeruput kopi lalu mengambil piring untuk sarapan.

"Kalau ada masalah tuh ya diselesain dong, Mik. Jangan kabur,"

"Michael gak kabur, Pa. Cuma..."

"Pergi? Sama aja dong."

Terbiasa tumbuh dengan sang ibu, membuat Michael lebih banyak bercerita dengan ibunya. Dia pun sudah menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dan Marshella kepada sang ibu sampai akhirnya diijinkan membawa mobil untuk berangkat menemui ayahnya. Mungkin untuk masalahnya kali ini, ayahnya memiliki saran yang lebih tepat.

Michael mulai menceritakan hubungannya dengan Marshella. Dimulai dari hubungan mereka di bangku sekolah, sampai kejadian yang membuat Michael memilih untuk menenangkan diri.

"Anak Papa kok cemen sih?"

"Uh, makasih lho, Pa," Michael memegang dadanya, tersinggung.

"Kamu kan sudah bilang sayang Marshella. Ya usahakan dong supaya bisa terus ada di sampingnya, jadi orang yang selalu ada untuknya."

"Ya tapi Michael juga gak bisa terus-terusan jadi tempat sampah dong Pa. Marshella masih sangat cinta mati sama sahabatnya."

"Maka tugas kamu membuka mata dia bahwa sahabatnya gak ada apa-apa dibandingkan kamu!"
Michael terhenyak.

"Hanya orang pengecut yang langsung mundur ketika keinginannya tidak mudah didapat. Kalau semua pahlawan seperti kamu, negara kita gak akan merdeka. 'Ah, udah dikuasai Belanda. Udah ah, biarin aja'. GAK BISA BEGITU!" Francis menggebrak meja sampai Michael hampir mundur dari kursinya.

"Selama kamu tetap melakukan hal yang benar, berjuanglah," suara Francis lebih pelan. Tatapannya kepada sang putra satu-satunya melembut. "You are worth it, my son. Terus berusaha sampai Marshella dan kamu sendiri tahu kapan saatnya untuk berhenti."

Michael tertunduk setelah mendengar nasihat ayahnya. Perasaan haru menyusup di dada dan membuat semangat Michael kembali lagi. Iya, dia sendiri yang pergi begitu saja dari Marshella. Padahal Marshella tidak mengatakan apa-apa. Perasaan Michael memang sedikit terluka saat menyadari bahwa Marshella masih menyayangi Gavin. Michael mengira kesempatan bagi dirinya telah tiba. Ternyata belum. Berarti dia harus berjuang lagi.

"Nah ini Mama kamu nelepon." Francis mengangkat telepon dari istrinya. "Halo, Sayang."

Wajah Ariella muncul di layar dalam sambungan video call ini. Michael segera merapat ke samping ayahnya. "Halo, Sayang-sayangku. Sudah sarapan?"

"Sudah, Ma," jawab Michael. "Mama gimana?"

"Sudah juga dong. Dibawain sandwich sama smoothies," Ariella mengangkat mangkuk berisi smoothies lalu menggeser kameranya. "Sama Marshella."

Sekarang wajah kaku Marshella muncul di layar handphone. Francis memahami kondisi yang terjadi sehingga sedikit demi sedikit dia menggeser kamera hingga hanya menyorot putranya saja. Wajah Michael rupanya juga sekaku wajah Marshella.

"Hai, Min, Mik..." sapa Marshella kaku.

"Hai," balas Michael tidak kalah datar.

"Kamu apa kabar?"

"Baik," jawab Michael cepat. Dia tadinya hanya akan menjawab satu kata itu saja. Tapi ayahnya menyenggol lengan Michael dan Michael akhirnya menambahkan. "Kamu?"

"Biasa saja," Marshella tersenyum. "Kapan pulang?"

"Siang ini," Francis yang menjawab. "Dia kangen Jakarta sama pacarnya katanya."

Michael rasanya ingin mencubit ayahnya sendiri.

"Hehe. Hati-hati di jalan ya. Sampai ketemu..."

Michael mengangguk. "Iya, sampai ketemu."

Selanjutnya giliran orang tua Michael yang mengobrol dan melepas kangen. Michael tidak tahu apa yang dilakukan Marshella di sebelah ibunya. Michael sendiri sibuk berpikir dan menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

"Nah, nanti siang kamu pulang ke Jakarta. Hati-hati di jalan. Ada dua perempuan yang nungguin kamu," Francis menyenggol lengan putranya lalu nyengir.

"Ah, Papa bisa ae." Michael mendengus lalu beranjak berdiri. Berarti dia akan mandi dan membereskan barangnya untuk bersiap kembali ke Jakarta.

Michael mengambil handphone yang seminggu ini dia matikan. Begitu dinyalakan, banyak notifikasi yang masuk. Pesan terbaru muncul satu menit lalu.

Marshella Anindira Irawan-Anderson: Kita masih pacaran kah Mincil?

Michael tadinya tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Tapi dia mengingat kembali pembicaraannya dengan sang ayah dan juga melihat ke dalam hatinya.

Michael Adhitama Indrajaya: Iya, Mi Amor.

***

Semangat! It's Friday!

Jaga kesehatan dan kebersihan yaaa~

-Amy

PS: kalo yang pada gak ngerti, kejadian di chapter 23 itu hari Minggu juga. So.. ya pikir aja ndiri ye.

Kilatan Kisah Kita - END (CETAK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang