Jemari lentik menari di deretan panjang tuts hitam dan putih. Denting indah mengalun lembut menguarkan ketenangan. Sebait puisi tersiar lantang, sangat kontras dengan atmosfer ruang musik sore itu.
Penonton yang jumlahnya tak sampai selusin itu kebanyakan hanya menyimak. Beberapa nampak terlampau serius. Mereka memandangi si pianis dengan tatapan memuja dan iri. Ada yang fokus pada permainan pianonya, ada yang fokus pada parasnya, ada juga yang malah memperhatikan rambut sepunggung si pianis yang ditata simpel itu.
"Oke, kita evaluasi dulu ya," seorang wanita paruh baya langsung bersuara ketika pertunjukan keduanya usai.
"Rin, menurut saya emosi kamu agak kurang pas," tatapan wanita itu berhenti pada gadis yang tadi membacakan puisi. "Puisi ini 'kan ceritanya sedih, kamu membawakannya terlalu menggebu-gebu. Benar 'kan, Arka?"
Anak lelaki yang dipanggil Arka itu menjawab sopan, "Iya, Bu. Jadi kurang cocok sama iringan piano Kalea."
"Nah, kalian sudah tahu maksud saya 'kan?" semua mengangguk singkat."Ya sudah, diperbaiki dulu kekurangannya. Kalau mau istirahat dulu juga boleh. Diingat, kalian pulang maksimal jam lima. Saya pulang duluan ya."
Setelah menyelesaikan kalimatnya wanita itu segera melenggang pergi dari ruang musik. Tentu saja diringi bisik-bisik dari murid-muridnya yang kebanyakan tak terima dengan sikap sang guru yang buru-buru dan sama sekali tidak peduli apakah murid-muridnya ingin bertanya atau tidak.
"Yah, kalau cuma ngomong gitu aja, aku juga bisa," seseorang bersuara. Beberapa turut menanggapi, "Iya nih, nggak mutu banget."
Hanya dua orang yang nampak malas berkomentar : Arka dan Lea. Lea sendiri yakin gurunya itu pasti punya alasan atas sikapnya yang terburu-buru, jadi dia diam saja sembari memainkan gawainya. Meski begitu, sebenarnya dalam benak ia tengah memaki sikap anak-anak sastra kepada guru bahasa Indonesia mereka itu.
Semua yang ada di ruang musik kecuali Lea adalah anggota ekstrakulikuler sastra. Keberadaan Lea di antara anak-anak sastra, yang kebanyakan baru ia kenal beberapa jam yang lalu, tak lain tak bukan karena permintaan Arka.
Kemarin Arka datang ke kelas Lea, minta diri untuk menariknya keluar kelas saat jam pelajaran matematika. Cowok itu lantas meminta tolong untuk membantu mengiringi penampilan anak-anak sastra di acara Bulan Bahasa sekolah mereka. Awalnya Lea merasa tak kenal dan tak ada urusan dengan cowok itu, tetapi dirinya tak heran. Hal seperti itu sering dialaminya selama ini.
Tentu saja, siapa sih yang tak kenal Kalea Anuradha? Gadis yang punya air wajah yang tenang dan bersinar ini dikenal karena bakat bermain pianonya. Kepribadiannya yang ceria dan sopan, serta latar belakang keluarganya yang sempurna juga menjadikan Lea gadis baik-baik yang disukai banyak orang. Lea yang ramah dan tak sombong. Lea yang suka menolong siapa saja. Lea yang jago bermain piano. Lea yang bapaknya pengusaha sukses. Lea yang ibunya mengelola bisnis kue terkenal. Lea yang begini, Lea yang begitu. Semua orang tahu siapa itu Lea, siapa itu Kalea Anuradha. Sang bintang yang bersinar terang, persis seperti arti namanya.
"Nggak usah heran, mereka emang gitu. Aku minta maaf," urai Arka saat semua sudah menghambur pulang. Keduanya kini tengah duduk bersebelahan mengenakan sepatu.
"Hah?" Lea berpura-pura tak tahu apa yang dibicarakan Arka.
"Kamu kelihatan nggak nyaman sama sikap mereka. Memang nggak semua anak sastra begitu, kebetulan aja yang bareng kita sekarang itu yang... kamu tahulah," Arka berujar sambil mengikat tali sepatunya, tak mengindahkan tatapan Lea padanya.
Lea heran. Ia telah menutupi ketidaknyamanannya sebisa mungkin. Ia yakin tadi dirinya sama sekali tak terlihat terganggu. Bagaimana cowok itu bisa tahu?
"Memang kelihatan banget ya?"Arka baru menengok ke arah Lea saat gadis itu bersuara. "Nggak apa-apa kok, nggak perlu minta maaf," Lea mengulum senyum manis, ia segera berdiri setelah kedua tali sepatunya terikat.
"Aku setengah nebak-nebak sebenarnya," kini ganti Arka yang berdiri.
"Kamu dijemput?" Lea mengangguk singkat.
"Udah dateng? Mau ditemenin dulu?"
"Mungkin udah di depan, kamu duluan aja," Lea mempersilakan Arka lembut. Kebetulan di sekolah mereka letak tempat parkir sepeda motor memang dekat dengan ruang musik.
Arka nampak menimang sejenak, "Oke, aku duluan ya. Hati-hati di jalan." Lea mengangguk dan melambai singkat. Gadis itu berbalik untuk pulang tepat saat punggung Arka hilang di belokan lobi samping.
Pendingin dalam mobil Lea bahkan tak terasa saking ruwetnya pikiran gadis itu. Ada yang berbeda dari cowok itu, Lea merasakannya sejak pertama kali pertemuan mereka. Sebelumnya tak ada yang pernah menyadari apa yang ia benar-benar rasakan. Sikapnya yang sopan dan tenang selalu berhasil menipu semua orang, termasuk orangtuanya sendiri.
Bagaimana bisa seorang Arka yang baru mengenalnya secara langsung kemarin siang seolah-olah sudah mengenalnya lebih lama dari siapapun? Atau mungkinkah dirinya yang berubah karena bertemu cowok itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Katai Putih
Short StoryAda satu hal yang Kalea harus mengerti. Meski Arka terlihat jauh lebih membumi, mereka berdua tetaplah dua bintang yang jauh, berjarak, dan tak terengkuh.