2

13 1 0
                                    


"Sebegitu nggak percayanya kamu ke aku?" Arka memulai pembicaraan karena belum banyak anak sastra yang datang.Sore itu sesi latihan kedua mereka.

"Eh? Kamu ngomong apa?"

"Aku 'kan udah bilang kalau kemarin itu aku cuma nebak. Kenapa sejak itu kamu selalu aneh kalau kita ketemu?" Selama sepersekian detik Lea terkejut, namun secepat itu pula eskpresinya kembali seperti semula.

"Nah, sekarang kamu juga kelihatan aneh," Arka menatap Lea tanpa keraguan. Lea yakin dirinya bersikap biasa saja saat ini, begitu pula saat beberapa kali berpapasan dengan cowok itu setelah latihan pertama mereka. Arka nyatanya berhasil melihat menembus tembok yang ia bangun. Tembok yang selama ini merangkai reputasinya sebagai gadis baik-baik.

Lea tetap tenang dan tersenyum, "Apa sekarang aku benar-benar kelihatan seperti yang kamu omongin?" ujarnya.

Arka menyunggingkan senyum, menampakkan lesung pipit di kedua pipinya, "Apakah selama menjadi bintang kamu bahagia, Kalea?"

"Kenapa?" tanya gadis itu tak mengerti.

"Karena sepertinya kamu sendirian di atas sana," ujaran Arka membawa kegamangan baru di hati Lea. Tapi gadis itu hanya tersenyum alih-alih menampakkan raut lain.

Latihan sesi kedua mereka dimulai cukup molor dari jadwal yang ditentukan. Arka sempat menasehati anggotanya yang tidak tepat waktu secara halus. Cowok itu nampak begitu sabar, tak ada amarah sama sekali dalam nada bicaranya, matanya teduh menenangkan. Jelas yang sedang Arka lakukan bukanlah kesabaran yang dibuat-buat seperti yang biasa ia lakukan.

Diam-diam Lea terus mengamati sikap Arka. Benaknya bertanya-tanya, sebenarnya siapakah cowok itu hingga bisa melihat dirinya yang tak bertameng?

Lea mengeluarkan ponselnya dan bersandar pada tembok dekat wastafel. Dirinya tengah berada di kamar mandi, mengisi waktu istirahat di sela latihan dengan menjauh dari Arka beserta junior-juniornya. Lea lantas menghubungi satu-satunya orang yang bisa ia tanyai dan ia percayai. Orang yang tahu segala tentangnya bahkan melebihi orangtuanya.

"Ra!"Panggil Lea ketika nada tunggu tak lagi terdengar.

Suara di seberang menjawab agak malas, "Hmm.. apa?"

"Nih, nih, aku mau tanya. Memang setiap aku ketemu sama Arka, si ketua sastra itu, sikapku jadi berubah ya?"

"Enggak kok," Thara terdiam sejenak, "Biasa aja perasaan. Waktu ketemu, kamu panggil dia, formalitas seperti biasanya kamu ke semua orang. Senyum kalem, basa-basi singkat."

"Nah, iyakan. Berarti bukan aku yang berubah waktu ketemu dia. Tapi kenapa dia bisa tahu kalau aku mikir aneh-aneh tentang dia ya? Jangan-jangan dia cenayang?"

"Hhh... cenayang ya. Mungkin itu jodoh kamu tuh. Lagian kenapa sih?"

"Aku cuma bingung aja," Lea memutar pandangan pada jam di pergelangan tangannya.

"Kebiasaan deh kamu selalu bingung sama hal-hal kecil," Thara berujar bosan.

"Udah ya kalau gitu, habis nih waktu istirahatnya. Aku mau tanya gitu doang kok, hihi." Lea tertawa singkat dan menutup teleponnya.

Ruang musik riuh ramai saat ia kembali. Latihan kembali dimulai dan berjalan seperti seharusnya. Namun lama-lama Lea tahu, ada yang tidak beres dengan tatapan dan bisik-bisik semua orang yang ada di situ, kecuali Arka tentunya. Mereka menatap dirinya dengan berjengit, seolah-seolah ia adalah sampah yang tak seharusnya ada di situ. Tak ada lagi tatapan memuja, kagum, atau iri.

Hampir pukul lima sore saat latihan usai. Anak-anak sastra segera menghambur keluar memakai sepatu dan bergegas pergi. Samar-samar Lea yang masih ada di dalam ruang musik mendengar percakapan mereka.

"Itu semua barang yang dipakai jangan-jangan hasil korupsi?Kalau gitu dia belajar piano pakai uang gelap dong."

"Iya ya, mungkin juga. Nggak nyangka ternyata di balik dia yang sempurna ternyata keluarganya busuk juga."

"Kita semua kemarin dikasih makanan 'kan? Waduh, hasil korup juga dong."

Lea benar-benar tidak paham. Siapa yang mereka bicarakan? Apakah itu dirinya? Tetapi apa hubungan korupsi dengan keluarganya? Mengapa ujaran-ujaran mereka sangatlah sarkas?

"Ka, sebenarnya mereka itu kenapa?" Tanya Lea pada Arka yang sama-sama masih berada di dalam ruang musik.

Arka menatap Lea sebentar. Ada sorot simpati di matanya. Lalu ia mengeluarkan ponsel, "Karena ini."

Mata Lea menangkap sebuah berita ditampilkan pada layar ponsel itu.

Seorang pengusaha di bidang properti menjadi tersangka kasus suap senilai 5 miliar...

Lea tak sanggup melanjutkan membacanya, sudah cukup ia tahu pasti itu ayahnya. Diserahkannya ponsel itu kembali ke Arka. Pikirannya melayang kemana-mana. Ayahnya tak mungkin begitu, ia yakin. Kalaupun iya, mengapa mereka malah mencaci dirinya? Memangnya dia mengerti apa?

Sementara itu, benaknya mulai menyusun skenario tentang perlakuan apa saja yang akan diterimanya nanti. Anak-anak sastra tadi saja sudah cukup menjadi bukti nyata, bahwa semua yang memujanya kini berbalik mencaci maki ia berikut keluarganya. Diantara pikirannya yang kalut, ia tak lagi sempat dan tak lagi peduli tentang sikapnya. Tanpa pamit pada Arka, ia segera berlari ke depan, mencari apapun yang bisa membawanya pulang. Menjauh dari manusia beserta tingkah polah kejam mereka.

Sesampainya Lea di rumah, azan magrib telah berkumandang. Satu-satunya hal yang bisa Lea pikirkan adalah menghubungi Thara lagi. Hatinya mencelus lega ketika nada sambung berganti dengan suara yang sangat ingin didengarnya.

"Lea?" Tanya Thara pelan. Merasa tak ada jawaban, Thara melanjutkan, "Kamu udah tahu?" Lea menghela nafas. Ternyata Thara juga sudah mendengar berita itu.

"Udah. Baru aja. Aku nggak tahu harus bagaimana."

"Siapa yang bilang ke kamu?"

"Arka."

Merasa tak perlu menanggapi perihal mengapa bisa Arka yang memberitahu Lea, Thara menanyakan hal lain, "Udah tanya ke orangtuamu? Itu bener nggak?"

"Belum," lirih Lea. Setelah diam sejenak ia melanjutkan, "Kamu tahu sendiri 'kan setiap hari rumahku bagaimana."

Keduanya dibungkus diam, hingga terdengar isak pelan di telinga Thara.

Ada hal yang selama ini tak pernah diketahui orang-orang selain keluarga besarnya dan Thara. Keluarganya tak sesempurna yang dibicarakan diluar sana. Tak ada yang namanya kehangatan bagi Lea selama ini.

Ayahnya, yang seorang pengusaha itu, selalu berada di luar kota. Jarang sekali pulang kecuali ketika Lea mengikuti sebuah lomba bergengsi atau ada pertamuan wali murid. Ibunya, yang orang-orang ketahui sebagai ibu rumah tangga sekaligus pemilik toko kue, hanya ada di rumah setiap malam. Hari-hari dihabiskan oleh Ibu Lea di toko, menyibukkan diri, yang sebenarnya juga upaya untuk lari dari kesepian dan kepedihan hati karena jauh dari anak pertamanya.

Sementara kakak Lea, yang disebut-sebut kuliah diluar negeri, sebenarnya bukan benar-benar karena sang kakak ingin pergi ke sana. Setahun yang lalu kakaknya terkena sebuah kasus yang cukup memalukan keluarga mereka. Karena itu sang ayah tak tanggung-tanggung langsung mengirim putra sulungnya ke benua lain.

Sang kakak marah, tak pernah lagi menghubungi Lea atau ibunya serta hanya sesekali menghubungi ayahnya. Itupun jika ada perihal keuangan. Bisa dibilang sejak itulah keluarga Lea berantakan. Sejak itu pula tembok ilusi yang ia bangun semakin tinggi dan tebal.

Lea sadar, tembok kepalsuan yang ia miliki telah ada sejak lama. Berasal dari keluarga berada yang mempunyai relasi erat dengan dunia politik di kotanya, menjadikan Lea telah menjaga sikap sejak kecil. Harus sopan, tersenyum, tidak boleh marah. Emosinya dibatasi. Ia harus menjadi baik. Bukan karena ia benar-benar baik, tapi hanya karena dia harus.

Katai PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang