Esoknya Lea berangkat sekolah seperti biasanya. Temboknya masih ia pasang tinggi-tinggi, mati-matian menutupi perasaan aslinya. Sepanjang koridor menuju kelasnya, ia menjumpai banyak anak-anak yang melihatnya lalu berbisik-bisik atau menghindar. Lea berusaha tetap tenang, tetapi Lea tak tahu itu malah membuat anak-anak berpikiran ia tak tahu diri.
Seseorang menyeletuk ketika Lea hampir sampai ke kelasnya, "Ternyata semuanya palsu, cuma buat cari famous doang.Coba kalau dari dulu kita tahu, nggak bakal si Lea itu bisa jadi bintang di sekolah kita."
Ada suara lain menanggapi, "Iya, aku nggak jadi suka sama dia. Kakaknya waktu itu kena kasus apa sih? Ternyata keluarganya nggak seharmonis yang kita kira ya."
Lea sudah panas dingin, mereka membicarakannya seolah dirinya tak sedang ada di situ. Tetapi yang lebih penting, bagaimana orang-orang itu bisa tahu kebobrokan keluarganya? Ia membuka gawainya, mengirimkan pesan singkat pada Thara. Ditanyanya dimana keberadaan sahabatnya itu. Meski berada di sekolah yang sama, mereka memang tak sekelas. Ketika sebuah jawaban masuk menyatakan sang pengirim tak masuk sekolah, Lea benar-benar merasa dirinya bak kapal yang akan karam.
Hari itu Lea lalui dengan berat. Teman-teman sekelasnya lebih memilih mengabaikan Lea, menganggap dirinya tak ada. Awalnya ia senang dengan sikap teman-temannya yang tidak terang-terangan membicarakan perihal ia dan keluarganya. Namun lama-lama ia merasa aneh menjadi orang yang biasa saja dan tidak diperhatikan oleh orang lain. Lea tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Ia tak suka, benaknya berontak akan ketidak-acuhan semua orang. Belum lagi pikiran akan siapa yang membocorkan semua aib keluarganya menambah rumit otak Lea.
Sepulang sekolah Lea membatalkan janji latihannya dengan anak sastra. Toh mereka kemungkinan besar tidak ingin ia ada disana. Namun sebagai gantinya ia menghubungi Arka. Lea curiga cowok yang punya perawakan lebih tinggi dari Lea itulah yang jadi dalang kejatuhan dirinya. Sikapnya yang seolah bisa membaca diri Lea begitu mudah bisa jadi karena cowok itu sudah mengorek semua informasi tentangnya.
"Kenapa tiba-tiba pingin ketemu?" Arka duduk di samping Lea. Mereka sedang berada di pinggir lapangan yang sedikit tertutup rimbunan pepohonan.
"Kamu 'kan yang buat aku jadi begini?" Tanya Lea sarkas, tanpa babibu.
Arka terkejut. Terlebih karena sikap Lea yang tak sesopan biasanya, bukan karena pertanyaan gadis itu. "Bukan, Lea. Kenapa kamu bisa bilang begitu?" jelas Arka sabar, seperti biasa.
"Ada banyak alasan buat aku bilang begitu," tukas Lea kasar sambil meniru gaya bahasa Arka. Temboknya sudah tak lagi berdiri setelah semua rentetan kejadian ini.
"Bukan, Lea. Percaya sama aku. Aku peduli sama kamu."
"Buktinya?" Semakin Arka menanggapi dengan sabar, semakin memuncak emosi Lea.
Arka mengembuskan nafas kasar, Lea bukanlah sosok yang gampang diyakinkan, "Aku tahu siapa yang buat kamu begini. Seharian ini aku udah tanya sana-sini."
"Siapa?" Tantang Lea. Ditatapnya cowok itu dengan tatapan penuh amarah.
Arka terdiam, lantas memandang Lea lamat-lamat. Mendadak kegetiran dirasakan Lea saat ia menyelami dua bola mata Arka. Sorot amarah Lea perlahan mereda, berganti dengan ketidakpercayaan. Cowok itu telah memberi jawaban tanpa harus berkata-kata. Dengan segera ia mengambil gawainya, menelepon seseorang.
"Ra! Thara! Angkat Ra! Denger nggak sih?!" Ujar Lea kalap. Namun hanya terdengar bunyi operator yang menjawabnya. Ia terduduk lunglai, memandang Arka masih dengan tatapan tidak pecaya, meminta pembenaran. Sebagai gantinya cowok itu hanya mengangguk samar, membuat Lea semakin merosot, tenggelam dalam sesak.
Gelenyar kekecewaan memang masih menyesaki setiap inci diri Lea, tetapi gadis itu lama-lama nampak mulai menerima semuanya. Arka hanya diam, membiarkan Lea tenang dengan caranya sendiri. Mereka duduk bersebelahan. Saling menyelami pribadi masing-masing dalam kesunyian.
Salah satu di antara banyak pikiran di otak Lea saat itu adalah tentang Arka. Setelah semua ini, Lea bisa melihat bahwa Arka adalah bintang. Bukan jenis bintang yang mengejar ketenaran dan sorotan. Terbukti dari betapa tidak terkenalnya dia sebagai ketua sebuah ekstra yang cukup berkelas di sekolah mereka. Pendar Arka tenang, tak mengintimidasi siapapun, radiasinya lemah. Berbeda jauh dari diri Lea yang bersinar terang, menggebu-gebu. Ia memancarkan radiasi yang cukup untuk sekedar membuat orang lain menjauh karena sungkan dengannya. Tapi ada satu hal yang sama dari dirinya dan Arka serta bintang- bintang lainnya. Meski Arka memang terlihat lebih membumi, sebenarnya mereka berdua sama-sama tinggi, berjarak, dan tak terengkuh.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Kalea," setelah hening begitu lama akhirnya Arka bersuara.
"Sebentar, bagaimana kamu bisa selalu tahu jalan pikiranku?" Lea tersenyum getir.
"Kesempurnaanku di mata orang lain sama sekali nggak berlaku di matamu. Rasanya kamu selalu berhasil menembus segala bentuk benteng yang kudirikan untuk menutupi apa yang kurasakan sebenarnya. Rasanya kamu langsung tahu semua tentangku tanpa perlu repot-repot kuberi tahu. Bagaimana bisa, Arka?"
"Melihat kamu, sama seperti melihat diri sendiri di masa lalu," Arka termenung, Lea menatapnya meminta penjelasan yang lebih detil. "Kamu tahu siklus bintang?"
"Korelasinya apa?" Lea berusaha menerka kemana arah pembicaraan mereka.
Arka melanjutkan dengan ketenangan seperti biasanya, "Ketika sebuah bintang, bermassa sedang, kehabisan bahan bakar yang digunakan untuk bercahaya, bintang itu akan memadat lalu mati. Para ilmuan menyebutnya katai putih. Katai putih itu tenang, dingin, dan sudah tak haus akan eksistensi."
"Itu kamu 'kan?" tanya Lea. Arka mengangguk takzim.
"Sebelum menjadi katai putih, sebuah bintang akan bersinar begitu terang. Itu karena ia menghabiskan seluruh bahan bakar yang ia punya hanya untuk bersinar," nada bicara Arka sedikit berubah.
"Aku ini katai putih. Aku pernah bersinar sama seperti kamu. Tapi semuanya berakhir ketika aku lebih mendengarkan emosi daripada nurani. Sekuat tenaga, aku menghabisi diri dengan ambisi dan kehausan akan eksistensi. Tujuannya hanya balas dendam pada semua yang mengolok-olok, membuktikan aku bisa melakukan hal yang lebih bahkan tanpa bantuan mereka," Arka berhenti sebentar. Sejenak ada keraguan di mata Arka untuk melanjutkan ceritanya.
"Aku berhasil, Kalea. Aku bersinar jauh lebih terang dari sebelumnya, dengan pendar yang sangat amat terang. Tapi hal itu nggak lama. Nggak ada lagi dendam yang bisa digadaikan sebagai bahan bakar untuk bersinar, semuanya sudah terbalaskan. Aku jadi terlalu terang dan berbahaya untuk didekati oleh orang lain, radiasi bintang yang kupunya nggak terelakkan."
"Lalu pelan-pelan kamu mendingin? Menjadi sosok yang sekarang ini?"
Arka menggangguk sambil tersenyum tipis, "Kamu juga sedang berpikiran untuk balas dendam bukan?"
Kini giliran Lea yang mengangguk singkat, "Bersinar lebih terang hingga menyilaukan semua orang? Kenapa tidak? Aku Cuma ingin membuktikan bahwa kepergian, ketidakpedulian, dan caci maki orang-orang itu gak berpengaruh apa-apa. Selama inipun aku bersinar tanpa dukungan mereka. Keluargaku tak punya andil apa-apa atas reputasiku."
"Jangan, Kalea. Aku nggak rela kalau kamu harus mengalami hal sepertiku."
"Jadi kamu ingin aku berhenti? Dengan alibi supaya aku nggak akan jadi katai putih seperti kamu? Memangnya menjadi katai putih itu salah? Aku lihat kamu malah lebih bahagia saat menjadi katai putih daripada sebelumnya. Juga, pada akhirnya, aku juga akan jadi katai putih walaupun aku nggak balas dendam."
Arka sedikit frustasi, "Katai putih itu tinggal menunggu kapan cahayanya benar-benar hilang, Lea. Menunggu untuk menjadi katai hitam. Kalau kamu memilih untuk segera menjadi katai putih, sama saja kamu memilih untuk segera kehilangan cahayamu sepenuhnya."
Arka melanjutkan, "Kamu masih ingin jadi bintang 'kan? Mungkin katai putih masih bisa disebut bintang. Tapi setelah kamu benar-benar tak punya cahaya, bukankah saat itu langkahmu menjadi bintang sudah terhenti?"
Lea terdiam, merenungi kata-kata Arka. Meski hanya bintang katai putih, di mata Lea sekarang, Arka bahkan terlihat begitu terang.
"Jangan berusaha bersinar lebih terang lagi, Kalea. Cukup jadi bintang yang seperti ini, nggak seharusnya kamu kehilangan pendarmu sekarang," pinta Arka tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katai Putih
Short StoryAda satu hal yang Kalea harus mengerti. Meski Arka terlihat jauh lebih membumi, mereka berdua tetaplah dua bintang yang jauh, berjarak, dan tak terengkuh.